hembusan angin terasa semakin lembut... membawaku berkelana dalam kidung senja-NYA, tercipta berjuta makna, yang hanya aku dan DIA...yang tahu..
semburat jingga
Rabu, 03 Maret 2010
PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK
LINGKUNGAN KELUARGA SEBAGAI DESAIN PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK
disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Belajar dan Pembelajaran
pada semester II
Disusun Oleh :
Nama : Kedawung Senja
NIM : (080210193047)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
JURUSAN PENDIDIKAN MIPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENGETAHUAN
UNIVERSITAS JEMBER
2009
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan merupakan modal pembangunan yang penting disamping kesehatan. Kualitas pendidikan suatu negara ikut menentukan maju tidaknya suatu bangsa atau negara tersebut. Kualitas pendidikan Indonesia sangat memprihatinkan. Data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala, menunjukkan bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Selain itu, data Balitbang (2003) mencatat bahwa dari ratusan ribu sekolah (SD-SMA), hanya delapan SD yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP), delapan SMP untuk kategori The Middle Years Program (MYP) dan tujuh SMA untuk kategori The Diploma Program (DP). Hal ini berarti, ada something wrong (masalah) dalam sistem pendidikan Indonesia.
Yang menjadi titik tolak permasalahan pendidikan Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Rendahnya kualitas sarana fisik, seperti gedung yang rusak dan atau tidak lengkap.
2. Rendahnya kualitas guru, dimana banyak guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sesuai pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
3. Rendahnya kesejahteraan guru, sehingga guru melakukan pekerjaan sampingan, seperti tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya.
4. Rendahnya prestasi siswa, sebagai akibat dari rendahnya kualitas sarana fisik dan rendahnya kualitas dan kesejahteraan guru.
5. Kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan; kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar.
6. Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, yaitu tampak dari banyaknya pengagguran.
7. Mahalnya biaya pendidikan, sehingga masayrakat yang tidak mampu memiliki pilihan lain,
Oleh karena itu, perlu solusi untuk masalah-masalah tersebut, yakni dengan:
a. Melengkapi aset sarana dan prasarana pendidikan
b. Meningkatkan kualitas dan kesejahteraan guru
c. Lebih menerapkan langkah untuk meningkatkan prestasi siswa, sebagai generasi yang berkualitas
d. Pemerrataan kesempatan pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat.
e. Sistem pendidikan yang benar-benar mampu mencetak produk SDM yang dibutuhkan dunia global
f. Meminimalisir biaya pendidikan
g. Menerapkan teknologi informasi dalam bidang pendidikan
Peserta didik memerlukan sarana dan lingkungan belajar yang efektif dalam proses pembelajarannya. Lingkungan keluarga memberikan pengaruh yang sangat besar dalam proses belajar.
Bertitik tolak dari hal tersebut di atas, penulis mencoba mengangkat tema “Lingkungan Keluarga Sebagai Desain Pembelajaran Konstruktivistik” sebagai analisis dari teori belajar Konstruktivisme.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana pengaruh teori pembelajran kontruktivisme dalam kegiatan belajar peserta didik?
1.2.2 Bagaimana pengaruh lingkungan keluarga sebagai desain pembelajaran kontruktivisme terhadap efektifitas belajar peserta didik?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui pengaruh teori pembelajran kontruktivisme dalam kegiatan belajar peserta didik.
1.3.2 Untuk mengetahui pengaruh lingkungan keluarga sebagai desain pembelajaran kontruktivisme terhadap efektifitas belajar peserta didik.
1.4 Ruang Lingkup Masalah
Untuk memperjelas arah penyelesaian masalah, perlu dipertegas ruang lingkup masalah yang hendak diangkat, yaitu :
1.4. 1 Variabel lingkungan keluarga, perhatian dipusatkan pada:
1.4. 1.1 Keluarga yang berantakan (broken home) dan
1.4. 1.2 Sikap orang tua yang selalu berlebihan terhadap anak.
1.4. 2 Variabel efektifitas belajar siswa, perhatian dipusatkan pada pengaruh lingkungan keluarga sebagai desain pembelajaran berdasarkan teori kontruktivisme.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lingkungan Keluarga
Dalam pembentukan dan perkembangan perilaku seseorang lingkungan keluarga memegang peranan penting, sebab secara kodrat “Keluarga adalah lambang pendidikan yang pertama dan utama” (Slameto, 1991: 62). Disebut sebagai lambang pendidikan yang “Pertama” karena dalam keluargalah pertama kali seseorang anak menerima pengaruh dari dunia luar (lingkungan). Terutama dari kedua orang tuanya (ayah dan ibu). Sedangkan disebut sebagai lembaga pendidikan yang “Utama” karena pendidikan dalam keluarga (pengaruh yang diterima oleh seorang anak dari orang tuanya) merupakan fundamen yang besar peranannya dalam pembentukkan dan perkembangan perilaku seseorang anak dikemudian hari. Dengan kata-kata puitis Joseph S. Roucek sebagaimana dikutip oleh Ary H. Gunawan mengemukakan: “The family is the craddleof the personality” (1986: 10), yang terjemahan bebas lebih kurang: “Keluarga adalah buaian kepribadian”. Dalam arti bahwa, apabila lingkungan memberikan positif, kepribadian seseorang anak akan tumbuh dan berkembang secara positif. Demikian pula sebaliknya apabila keluarga memberikan negatif, kepribadian seorang anak kan tumbuh negatif pula.
Begitu pentingnya peranan keluarga dalam pembentukan dan perkembangan perilaku seseorang anak. Slameto dalam bukunya mengemukakan : ”Keluarga yang sehat besar artinya untuk pendidikan dalam ukuran kecil, tetapi bersifat menentukan untuk pendidikan dalam ukuran besar, yaitu pendidikan bangsa, negara bahkan dunia” (1991: 63). Secara logis pendapat tersebut dapat diterima, sebab sebagaimana kita ketahui keluarga adalah merupakan kelompok masyarakat terkecil. Masyarakat, bangsa bahkan dunia terdiri atas kesatuan-kesatuan masyarakat terkecil tersebut. Jika kehidupan dalam satu keluarga tidak tentram, kehidupan masyarakat pun tidak tentram pula, yang pada gilirannya stabilitas kehidupan bangsa, negara dan bahkan duniapun menjadi terganggu.
Jika kita sependapat bahwa kehidupan suatu bangsa dan negara sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia, tidak dapat disangkal lagi keluarga merupaka tempat penyimpanan sumber daya manusia yang pertama dan utama. Sebab sebagaimana dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantoro :
“Keluarga itulah tempat pendidikan yang lebih sempurna sifat dan wujudnya dari pada pusat-pusat lainnya untuk melangsungkan pendidikan ke arah kecerdasan budi pekerti (pembentukan watak individual) dan sebagai persediaan hidup masyarakat “ (1977: 374).
Dikemukakan pula oleh Y. Singgih D. Gunarso dan Singgih D. Gunarso bahwa : “Pengaruh lingkungan keluarga bisa bersifat positif maupun negatif. Individu dapat berkembang dengan baik jika mendapat dukungan dan dorongan muril dari keluarganya. Individu mungkin juga berkembang kurang wajar karena lingkungan keluarga memberi suasana yang tidak diterimanya”. (1990: 29)
Lebih-lebih bagi sesorang anak yang sedang menempuh studi di lembaga pendidikan sekolah, yang segala sesuatunya serba diatur/ditentukan secara terorganisir dan sistematis. Lingkungan keluarga yang harmonis sangat membantu seseorang anak untuk dapat berkonsentrasi penuh dalam mempelajari semua bahan pelajaran yang diberikan di sekolah. Jika lingkungan keluarga kurang mendukung, sangat dimungkinkan kosentrasi anak dalam belajar akan sangat terganggu, yang pada gilirannya efektifitas belajarnyapun tidak/kurang dapat dicapai.
2.2 Pembelajaran Kontruktivisme
Kontruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil kontruksi (bentukan) kita sendiri (von Glaseferd dalam Bettencourt, 1989 dan Mathews, 1994). Jadi, pengetahuan merupakan akibat dari suatu kontruksi kognitif dari kenyataan yang terjadi melalui serangkaian aktivitas seseorang sehingga membentuk skema, kategori, konsep, dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan.
Menurut kontruksivisme, pengetahuan ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Peserta didiklah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman mereka atau kontruksi yang telah mereka bangun atau miliki sebelumnya. Kontruksivisme juga menyatakan bahwa semua pengetahuan yang kita peroleh adalah hasi; kontruksi kita sendiri, maka sangat kecil kemungkinan adanya transfer pengetahuan dari seseorang kepada yang lain. Setiap orang membangun pengetahuannya sendiri, sehingga transfer pengetahuan (seperti air ke ember kosong) adalah sangat mustahil terjadi.
Menurut Von Glaserveld (1989), agar peserta didik mampu mengkonstruksi pengetahuan, maka diperlukan:
1. Kemampuan untuk mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, karena pengetahuan dibentuk berdasarkan interaksi individu dengan pengalaman-pengalaman tersebut.
2. Kemampuan untuk membandingkan dan mengambil keputusan mengenai persamaan dan perbedaan suatu hal, agar peserta didik mampu menarik sifat yang lebih umum (merapatkan) dari pengalaman-pengalaman khusus serta melihat kesamaan dan perbedaannya untuk mengklasifikasi dan mengkonstruksi pengetahuannya.
3. Kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu daripada yang lain (selective conscience),sehingga muncul penilaian mahasiswa terhadap pengalaman dan menjadi landasan bagi pembentukan pengetahuannya.
Gagasan kontruksivisme mengenai pengetahuan adalah sebagai berikut:
1. Mind as inner individual representation of outer reality.
Pengetahuan merupakan kontruksi kenyataan melalui kegiatan peserta didik.
2. Reflection/abtraction as primary.
Proses abstraksi dan refleksi seseorang menjadi sangat berpengaruh dalam kontruksi pengetahuan karena peserrta didik mengkontruksi skema kognitif, kategori, konsep dan struktur dalam membangun pengetahuannya.
3. Knowledge as residing in the mind.
Pengetahuan adalah apa yang ada dalam pikiran setiap peserta didik karena pengetahuan dibentuk dalam struktur konsep masing-masing peserta didik. Struktur konsep dapat membentuk pengetahuan bila konsep baru yang diterima dapat dikaitkan atau dihubungkan (proposisi) dengan pengalaman yang dimiliki oleh peserta didik.
4. Learning as negotiated construction of meaning.
Perampatan makna merupakan proses negosiasi antara individu dengan pengalamannya melalui interaksi dalam proses belajar (menjadi tahu) karena dalam proses pembentukan pengetahuan, kebermaknaan merupakan intrepetasi individuterhadap pengalaman yang dimilikinya (Meaning as internally contruction).
Berdasarkan konstruktivisme, pendidik atau buku teks bukan satu-satunya sumber informasi dalam pembelajaran. Peserta didik mempunyai akses terhadap beragam sumber informasi yang dapat digunakannya untuk belajar. Dengan demikian pembelajaran yang berlandaskan konstruktivisme tidak menyediakan satu-satunya jawaban/penjelas/teori apalagi makna yang benar. Ketika permasalahan masih sederhana mungkin akan mudah ditemukan satu jawaban yang benar. Namun dengan hilangnya sumber otoritas informasi yang tunggal, degan terbukanya akses terhadap beragam sumber informasi dan dengan bebasnya peserta didik memilih informasi yang dipelajarinya, akan satu jawaban yang benar tidak ada lagi. Akan ada banyak sekali altenratif jawaban terhadap suatu masalah yang kompleks.
Konstruktivisme menjadi landasan bagi pemanfaatan beragam media dalam pembelajaran. Pengalaman peserta didik tidak hanya diperoleh dari ruang kelas, tetapi juga di luar kelas. Dengan demikian pembelajaran terjadi dimana pun dan setiap saat melalui beragam media.
Konstruktivisme juga mendorong untuk diakomodasikannya berbagai fenomena yang tidak memiliki landasan dasar teoritis maupun prinsip yang jelas. Fenomena trsebut menjadi anomali dalam berbagai bidang ilmu, tanpa dijelaskan. Anomaly ini bersamaan dengan fenomena-fenomena lain yang memiliki landasan teoritis maupun prinsip yang jelas. Peserta didik memiliki kebebasan untuk menjadi unik dan menginterpretasikan anomali yang dialaminya.
2.2. 1 Perbedaan Situasi Pembelajaran (Dalam Kelas) Kontruktivisme dan Pembelajaran Tradisional
Perbedaan Situasi Pembelajaran (Dalam Kelas) Kontruktivisme Dan Pembelajaran Tradisional adalah sebagai berikut :
Pembelajaran Tradisional Pembelajaran Konstruktivisme
Ruang lingkup pebelajaran disajikan secara terpisah, bagian perbagian dengan penekanan pada pencapaian ketrampilan dasar. Ruang lingkup pembelajaran disajikan secara utuh dengan penjelasan tentang keterkaitan antar bagian, dengan penekanan pada konsep-konsep utama
Kurikulum harus diikuti sampai habis. Pertanyaa peserta didik dan konstruksi jawaban peserta didik adalah penting
Kegiatan pembelajaran hanya berdasarkan buk teks yang sudah ditentukan. Kegiatan pembelajaran berlandaskan beragam sumber informasi primer dan materi-materi yang dapat dimanipulasi langsung oleh peserta didik
Peserta didik dilihat sebagai ember kosong tempat ditumpahkannya semua pengetahuan dari pendidik Peserta didik dilihat sebagai pemikir yang mampu menghasilkan teori-teori tentang dunia dan kehidupan.
Pendidik mengajar dan menyebarkan informasi keilmuan pada peserta didik Pendidik bersikap interaktif dalam pembelajaran, menjadi fasilitator dan mediator dari lingkungan bagi peserta didik dalam proses belajar
Pendidik selalu mencari jawaban yang benar untuk menvalidasi proses belajar peserta didik Pendidik mencoba mengerti persepsi peserta didik agar dapat melihat pola pikir dan apa yang sudah diperoleh peserta didik untuk pembelajaran selanjutnya.
Penilaian terhadap proses belajar peserta didik merupakan bagian terpisah dari pembelajaran, dan dilakukan hampir selalu dalam bentuk tes atau ujian. Penilaian terhadap proses belajar peserta didik merupakan bagian integral dalam pembelajaran, dilakukan melalui observasi pendidik terhadap hasil kerja peserta didik, melalui pameran karya peserta didik
Peserta didik harus selalu bekerja sendiri Lebih banyak peserta didik belajar dalam kelompok
2.2. 2 Strategi Pembelajaran Konstruktivisme
Filsafat kontruktivisme menjadi landasan bagi banyak strategi pembelajaran. Mengutamakan keaktifan peserta didik dalam pengalaman belajar yang diperoleh. Peserta didik dan proses belajar peeta didik menjadi focus utama, sementara pendidik berperan sebagai fasilitator dan bersama-sama pedidik juga terlibat dalam proses belajar, proses konstruksi pengtahuan.
Beberapa strategi pembelajaran konstruktivisme adalah belajar aktif, belajar mandiri, belajar kooperatif dan kolaboratif generative learning dan model pembelajaran kognitif antara lain problem based learning dan cognitive strategies.
2.2. 3 Belajar Aktif dalam Kontruktivisme
Belajar aktif merupakan suatu pendekatan dalam pengelolaan system pembelajaran melalui cara-cara belajar yang aktif menuju belajar yang mandiri. Kemampuan belajar mandiri merupakan tujuan akhir dari belajar aktif.
Peran serta peserta didik dan pendidik dalam konteks belajar aktif enjadi sangat penting. Pendidik berperan aktif sebagai fasilitator yang membantu memudahkan peserta didik belajar, sebagai narasumber yang mampu mengundang pemikiran dan daya kreasi peserta didik. Peserta didik juga diharapkan mampu memodifikasi pengetahuan yang baru diterima dengan pengalaman dan pengetahuan yang pernah diterima selain itu peserta didik dibina untuk memiliki ketrampilan agar dapat menerapkan dan memanfaatkan pengetahuan yang pernah diterimanya pada hal-hal atau masalah-masalah baru yang dihadapinya. Dengan demikian peserta didik mampu belajar mandiri
Belajar aktif menuntut keaktifan pendidik dan peserta didik. Belajar aktif juga megisyaratkan terjadiya interaksi yang tinggi antara pendidik dan peserta didik. Oleh karena itu pendidik perlu mengembangkan berbagai kegiatan belajar yang dapat melibatkan peserta didik secara aktif dalam proses belajar berdasarkan tujuan instruksional yang jelas, kegiatan yang menampang kreatifitas.
Strategi yang dapat digunakan pendidik untuk mencapai tujuan antara lain:
1. Refleksi
2. Pertanyaan peserta didik
3. Rangkuman
4. Pemetaan kognitif
Belajar Aktif memperkenalkan cara pengelolaan kelas yang beragam, tidak hanya berbentuk kegiatan belajar klasikal saja tetapi bentuk kegiatan belajar lain seperti kegiatan belajar berkelompok, kegiatan belajar berpasangan , kegiatan belajar perorangan. Dan masing-masing benuk kegiatan tersebut mempunyai keungggulan dan kelemahan sendiri-sendiri.
Belajar aktif memberi kesempatan pada setiap mahasiswa untuk berkembang secara optimal sesuai denan kemampuannya. Pada dasarnya setiap pesreta didik mempunyai karakteristik dan perilaku yang berbeda-beda. Dalam belajar aktif pendidik perlu memperhatikan perbedaan individu tersebut sehingga peserta didik dapat mencapai ketuntasan belajar dan pegembangan diri yang optimal.
2.2. 4 Belajar Mandiri
Belajar mandiri didefinisikan sebagai usaha individu untuk mencapai suatu kompetensi akademis. Keterampilan seperti ini dapat diterapkan dalam berbagai situasi, tidak terbatas pada satu mata kuliah atau di perguruan tinggi saja.
Belajar mandiri memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menentukan tujuan belajarnya, merencanakan proses belajarnya, menggunakan sumber-sumber belajar yang dipilihnya, membuat keputusan-keputusan akademis serta melakukan kegiatan-kegiatan yang dipilihnya untuk mencapai tujuan belajarnya .
Adapun kelebihan dari belajar mandiri adalah peserta didik mempunyai tanggung jawab yang besar atas proses belajarnya dan juga peserta didik mendapatkan kepuasan belajar melalui tugas-tugas yang diselesaikannya. Selain itu dalam belajar mandiri, peserta didik mendapat pengalaman dan keterampilan dalam hal penelusuran literatur, penelitian, analisis dan pemecahan masalah. Walaupun secara umum belajar mandiri sangat menguntungkan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penerapannya, yaitu:
a. Guru harus mampu merencanakan kegiatan intruksionalnya dengan baik dan teliti. Perencanaan kegiatan tersebut harus dilakukan sebelum kegiatan belajar dimulai, bukan pada saat kegiatan belajar berlangsung.
b. Perencanaan kegiatan intruksional dan tugas-tugasnya harus dulakukan berdasarkan atas kemampuan dan karakteristik awal peserta didik. Guru juga perlu memperhatikan bahwa untuk belajar mandiri, peserta didik diharapkan mempunyai keterampilan dalam memanfaatkan apa yang telah ada.
Dalam perkembangannya, teori belajara kontuktivisme, sering kali dihubungkan dengan aliran-aliran atau teori-teori pembelajaran yang lain. Menurut Osborne (1993) dan Mattews (1994), kontrukstivisme sering kali terkontaminasi, sehingga mengarah ke empirisme dan relativisme, terlebih dalam penyelidikan sains. Banyak kaum kontrukstivis dalam pendidikan sains menekankan bahwa semua konsep harus berdasarkan kenyataan obyektif.
Beberapa kontrukstivis lainnya terlalu menekankan abstraksi atau kontruksi yang dapat mengarah ke relativisme, yang menyatakan bahwa semua konsep adalah sah. Karena setiap ide dituangkan dari suatu abstraksi harus dianggap sah. Tidak ada konsep yang lebih baik daripada lainnya. Konstruktivisme terlalu menekankan abstraksi atau konstruksi yang dapat mengarah ke relativisme, yang menyatakan bahwa semua konsep adalah sah karena setiap ide diturunkan dari suatu abstraksi harus dianggap sah tidak ada konsep yang lebih baik daripada lainnya. Sementara empirisme menyatakan bahwa semua pengetahuan diturunkan dari pengalaman indrawi, nativisme menyatakan bahwa sumber pengetahuan berasal dari sumber luar tetapi direkonstruksikan dari dalam diri seorang.
Konstruktivisme tidak sejalan dengan pandangan obyektivisme yang beranggapan bahwa realitas itu ada, terlepas dari pengamat dan dapat diketahui/ditemukan melalui langkah-langkah sistematis menuju kenyataan dunia ini.
Dewasa ini konstruktivisme telah banyak mempengaruhi pendidikan di banyak negara. Konstruktivisme menjadi landasan bagi beberapa teoti belajar. Misalnya teori perubahan konsep, teori belajar bermakna dan teori skema.
Konstruktivisme maupun teori perubahan konsep menjelaskan bahwa pengertian yang dibentuk mahasiswa mungkin bebeda dari pengertian ilmuwan. Teori belajar bermakna ausubel juga sangat didasarkan atas konstruktivisme, keduanya menekankan pentingnya mahasiswa mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam sistem pengetahuan yang telah dimiliki. Serta keduanya sangat menekankan keaktifan mahasiswa dalam proses belajar.
BAB III METODE PENELITIAN
3.2 Definisi operasional
Definisi operasional mencakup dua variabel yakni, lingkungan keluarga dan teori pembelajaran kontruktivisme. Lingkungan keluarga yang dimaksud dalam tulisan ini adalah suatu bentuk kondisi lingkungan keluarga siswa, khusunya keluarga yang berantakan (broken home) dan sikap orang tua (dalam hal ini sikap ayah dan ibu) yang terlalu menekan kepada anak.
3.1 Desain Penelitian
Desain yang digunakan dalam pengumpulan data karya ilmiah ini adalah bersifat deskriptif yang menggambarkan pengaruh lingkungan keluarga sebagai desain pembelajaran kontruksivisme.
3.2 Cara Pengambilan Data
Data diperoleh melalui studi literatur, dengan pengembangan analisis dari teori-teori pembelajaran yang ada, terutama pembelajaran berdasarkan teori kontruktivisme.
3.3 Teknik Penyajian dan Analisa Data
3.4. 1 Merumuskan permasalahan yang berkaitan dengan pendekatan pembelajaran dalam teori pembelajaran kontruktivisme dengan menelusuri pustaka lewat broshing internet dan buku.
3.4. 2 Menganalis dan melakukan kajian pemecahan masalah-masalah yang berkaitan dengan pendekatan pembelajaran dalam teori pembelajaran kontruktivosme berdasarkan data dan informasi yang ada.
3.4. 3 Menarik kesimpulan dari hasil pembahasan terhadap permasalahan yang dirumuskan.
BAB IV PEMBAHASAN
4.1. Pengaruh Teori Pembelajaran Kontruktivisme dalam Kegiatan Belajar Peserta Didik
Dalam kontrusktivisme, kegiatan belajar peserta didik adalah aktif menemukan sesuatu serta membangun sendiri pengetahuannya. Peserta didiklah yang bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Bagi peserta didik belajar merupakan pengembangan pemikiran dengan membuat kerangka pengertian yang berbeda.
Setiap peserta didik mempunyai cara yang cocok untuk mengkontruksi pengetahuannya. Hal inilah yang membuat perbedaan dari peserta didik yang satu dengan yang lainnya dalam mengkontruksi pengetahuannya. Dalam pengaruhnya dengan kontruksivisme, peserta didik dimungkinkan untuk mencoba bermacam-macam cara belajar yang cocok, serta bermacam-macam situasi dan metode belajar yang membantu pserta didik.
Pengaruh konstruktivisme terhadap peserta didik terlihat dalam kelompok belajarnya. Menurut von Glaserfeld (1989), dalam kelompok belajar, peserta didik dapat mengungkapkan perspektifnya dalam melihat persoalan dan hal yang akan dilakukan dengan persoalan itu. Kelompok belajar melalui kesempatan mengungkapkan gagasan, mendengarkan pendapat orang lain, serta bersama-sama membangun pengertian, menjadi sangat penting dalam belajar, karena memiliki unsure yang berguna untuk menantang pemikiran peserta didik.
Pengaruh Konstruktivisme terhadap Proses Pembelajaran
Pembelajaran dalam konstruktivisme adalah membantu seseorang berpikir secara benar dan membiarkannya berpikir sendiri (von Glaserfeld, 1989). Jika seseorang mempunyai cara berpikir yang baik, berarti cara berpikirnya dapat digunakan untuk menghadapi suatu fenomena baru, akan dapat menemukan pemecahan dalam menghadapi persoalan yang lain.
Dalam konstruktivisme ini, peranan pendidik adalah sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar peserta didik berjalan dengan lancar. Selain itu, pendidik diharapkan tidak pernah menganggap cara berpikir peserta didik sederhana. Pendidik perlu belajar mengerti cara berpikir peserta didik sehingga ia dapat membantu memodifikasinya.
Secara rigkas, pengaruh konstruktivisme membuat pendidik akan dapat menerima dan menghormati upaya-upaya peserta didik untuk membentuk suatu pengertian yang baru, sehingga dapat menciptakan berbagai kemungkinan untuk peserta didik dalam berkreasi.
Pengaruh Konstruktivisme terhadap Strategi Pembelajaran
Pembelajaran adalah suatu seni yang menuntut bukan hanya penguasaan teknik, meleinkan intuisi dari setiap pendidik. Menurut Driver dan Oldham dalam Mattews (1994) pembelajaran berlandaskan konstruktivisme memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a) Orientasi (pengembangan motivasi belajar)
b) Elisitasi (pengungkapan ide-ide secara jelas)
c) Restrukturisasi ide (klarifikasi, membangun, serta evaluasi ide-ide baru)
d) Penggunaan ide dalam banyak situasi
e) Review ide-ide yang berubah
Konstruktivisme menjadi landasan bagi pemanfaatan berbagai media dalam pembelajaran (Hlynka, 1998), karena seorang pendidik serta buku-buku literatur bukanlah satu-satunya sumber informasi. Dengan demikian, pembelajaran dapat terjadi di mana pun dan setiap saat melalui beragam media.
Filsafat konstruktivisme menjasi landasan bagi banyak strategi pembelajaran, terutama dalam student-centered learning yang berorientasi pada peserta didik. Dengan demikian, beberapa strategi pembelajaran konstruktivisme atau student-centered learning strategies adalah belajar aktif, belajar mandiri, belajar kooperatif dan kolaboratif, generative learning, dan model pembelajaran kognitif, antara lain problem based learning, dan cognitive strategies.
4.2. Pengaruh Lingkungan Keluarga Sebagai Desain Pembelajaran Kontruktivisme Terhadap Efektifitas Belajar Peserta Didik
4.2.1 Lingkungan Keluarga
Lingkungan keluarga adalah merupakan salah satu dari lingkungan anak/peserta didik. Sebagaimana dikemukakan oleh Slameto, lingkungan dibedakan atas:
1. Lingkungan keluarga
2. Lingkungan sekolah dan
3. Lingkungan masyarakat (199: 62)
Ketiga jenis lingkungan tersebut, oleh Ki Hajar Dewantoro disebut “Tri Pusat Pendidikan” (1977: 378). Namun jika dibandingkan dengan dua lingkungan lainnya (lingkungan sekolah dan masyarakat), lingkungan keluarga menempati posisi yang sangat dominan. Sebab dasar-dasar pembentukan watak/kepribadian seseorang anak tidak terbentuk secara positif dalam lingkungan keluarganya, seseorang anak akan mudah sekali terpengaruh oleh kondisi negatif di luar keluarga (sekolah dan masyarakat). Sehingga lingkungan keluarga disebut sebagai lingkungan pendidikan yang sangat fundamental. Sebagai tempat yang paling sempurna dalam pembentukan budi pekerti/watak individual dan disebut juga sebagai buaian kepribadian (Sutjipto Wirowidjojo, 1991: 62-63, Ki Hajar Dewantoro. 1977: 374, Joseph S. Roucek dalam Ary H. Gunawan, 1986: 10)
Meskipun diakui kondisi lingkungan keluarga mempunyai peran yang sangat besar bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, namun tidak jarang terdapat lingkungan keluarga yang justru berpengaruh secara negatif dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Pengaruh negatif tersebut terjadi karena kondisi lingkungan keluarga yang justru merugikan bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Lingkungan keluarga tersebut menurut Kartini Kartono diantaranya:
1. Keluarga yang berantakan (broken home) dan
2. Sikap orang tua yang terlalu berlebihan terhadap anaknya. 1986: 59– 65)
1. Keluarga yang Berantakan (Broken Home)
Menurut Anton M. Muliono, dkk… “berantakan berarti cerai-berai, tidak terpelihara dengan baik, tidak teratur” (1990 : 106). Keluarga yang berantakan (broken home) berarti keluarga yang cerai-berai, keluarga yang tidak terpelihara dengan baik dan atau keluarga yang tidak teratur. Menurut Y. Singgih D. Gunarso dan Singgih D. Gunarso “Lingkungan keluarga yang tidak memberi kesempatan yang optimal, seperti lingkungan keluarga yang tidak utuh (broken home) sangat negatif pengaruhnya terhadap individu dalam proses perkembangannya” (1990: 29).
Hal yang sama dikemukakan oleh Kartini Kartono: “Keluarga yang berantakan (broken home) yang disebabkan kematian ayah atau ibu, perceraiaan diantara ayah dengan ibu, hidup terpisah, poligami, ayah mempunyai simpanan istri lain, keluarga yang diliputi konflik keras, merupakan sumber yang subur untuk memunculkan kenakalan remaja” (1986: 59).
Jadi, broken home dalam lingkungan keluarga dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti tidak adanya keutuhan keluarga baik karena kematian maupun perceraian ayah/ibu, ayah dan ibu yang tidak hidup dalam satu rumah (hidup terpisah satu sama lain), dan dapat pula disebabkan adanya konflik keras atau perselisihan yanga berlarut-larut antara ayah dan ibu. Di samping itu kebiasaan-kebiasaan buruk dari orang tua, seperti mabuk, berjudi, tindakan kriminal dan sebagainya, dapat pula sebagai penyebab terjadinya broken home (Kartini Kartono, 1986: 125)
Akibat dari kondisi keluarga yang berantakan (broken home) menyebabkan hubungan antara anak dengan orang tua menjadi tidak/kurang harmonis karena perhatian orang tua terhadap anak berkurang (orang tua disibukkan oleh masalah sendiri-sendiri).
Dalam kondisi demikian, keluarga yang ideal merupakan tempat berlindung bagi anak dan orang tua yang seharusnya mampu berperan sebagai teladan bagi anak dan tidak/kurang dapat melaksanakan fungsinya. Menurut Kartini Kartono akibat keluarga yang broken home “Anak-anak menjadi serba bingung, sedih, malu bahkan sering diliputi perasaan dendam dan benci, sehingga anak menjadi kacau dan liar yang cenderung mengarah pada kenakalan remaja” (1986: 60). Dalam kondisi lingkungan keluarga yang berantakan (broken home) anak tidak bisa tenang belajar, selalu risau, sedih dan malu. Untuk melupakan semua derita batin yang dialaminya, anak kemudian melampiaskan kemarahan dan agresifnya di luar lingkungan keluarganya dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang cenderung menentang yang ia taati.
2. Sikap Orang Tua Yang Terlalu Berlebihan Terhadap Anaknya
Menurut W.A. Gerungan terdapat dua bentuk sikap yang dapat digolongkan sebagai sikap orang tua yang terlalu berlebihan terhadap anak (over protection), yaitu :
a. Orang tua terlalu berlebihan dalam melindungi anak
b. Orang tua terlalu berlebihan dalam menekan anak. (1985: 190)
a. Orang tua terlalu berlebihan dalam melindungi anak
Melindungi anak dari segala kemungkinan negatif yang dapat membahayakan anak adalah suatu sikap orang tua yang sangat positif, tetapi jika hal ini dilakukan secara berlebihan, cenderung menyebabkan anak akan selalu terbiasa bergantung pada orang tuanya, kreatifitas anak terhalang, tidak ada kepercayaan pada diri sendiri, tidak berani mencoba sesuatu yang lebih fatal lagi anak tidak memiliki prinsip dalam hidup. Bisa jadi, sebagaimana yang dikemukan oleh Strauss dan Sayles “Perlindungan yang berlebihan tersebut dipandang oleh anak bukannya sebagai kasih sayang, sebaliknya sebagai suatu tekanan" (1986: 143)
Manifestasi dari sikap orang tua yang terlalu berlebihan dalam melindungi anak, menurut W.A. Gerungan “Orang tua dalam hal ini senantiasa menjaga keselamatan anak dan mengambil tindakan-tindakan yang berlebihan supaya anak kesayangannya terhindari dari bermacam-macam bahaya” (1985: 190).
Menurut Y. Singgih D. Gunarso dan Singgih D. Gunarso “Anak seolah-olah melihat lingkungan keluarganya sebagai penjara” (1988: 14). Kondisi ini menyebabkan anak tidak betah di rumah dan selalu mencari kesempatan untuk pergi dari rumah agar memperoleh kebebasan yang diharapkan.
Dikemukan pula oleh Kartini Kartono bahwa: “Bila orang tua terlalu banyak melindungi dan memanjakan anak-anaknya dan menghindarkan mereka dari berbagai kesulitan atau ujian kecil dalam hidup, anak-anak menjadi rapuh dan tidak akan pernah sanggup belajar sendiri. Mereka akan selalu bergantungan pada bantuan orang lain (orang tua), merasa cemas, bimbang dan ragu, aspirasi dan harga dirinya tidak bisa berkembang, kepercayaan dirinya menjadi hilang” (1986:123).
Akibatnya, anak melakukan identifikasi total terhadap teman sebayanya yang dipandang kuat dan pemberani. Secara tidak sadar cenderung menentang norma-norma yang berlaku hanya semata-mata agar disebut sebagai “Pemberani”. Padahal sebenarnya untuk menyembunyikan kerapuhan dan kekerdilan dirinya.
Jelaslah bahwa perlindungan orang tua terhadap anak tidak semuanya positif, perlindungan tersebut bernilai positif jika dilakukan secara wajar (tidak berlebihan) dan diabdikan semata-mata untuk kemandirian dan perkembangan anak. Perlindungan orang tua terhadap anak haruslah membawa misi mendorong, membimbing dan lebih banyak memberikan kesempatan kepada anak untuk mengembangkan kretifitasnya sehingga akan memperoleh bekal yang cukup dalam menghadapi problema hidup dengan penuh percaya diri.
b. Orang tua terlalu berlebihan dalam menekan anak
Sikap orang tua yang “over protection” terhadap anak di samping termanifetasi dalam bentuk perlindungan yang terlalu berlebihan terhadap anak, juga termanifetasi pula dalam bentuk penekanan orang tua yang berlebihan terhadap anak.
Setiap orang tua tentu memiliki harapan-harapan terhadap anaknya. Sehingga segala cara dilakukan terhadap anak agar apa yang diharapkan dapat terwujud. Sikap orang tua yang demikian tidak selamanya negatif asalkan dilakukan secara wajar, disesuaikan dengan bakat dan kemampuan anak. Tetapi sangat negatif jika orang tua bersikap menekan, memaksa anak tanpa memperhatikan bakat, minat dan kemampuan anak yang bersangkutan.
Secara hereditas (keturunan) seorang anak memang memiliki “kemiripan-kemiripan” tertentu dengan orang tuanya. Baik kemiripan dari segi fisiologis maupun psikologis (Agus Sujatno, 1991: 101). Tapi “kemiripan” bukan ‘kesamaan’, yang berati sekecil apapun selalu terdapat perbedaan antara orang tua dengan anak.
Di samping itu kondisi masa remaja yang dialami oleh orang tua jauh berbeda dengan kondisi masa remaja yang di alami anak. Tuntutan dan kebiasaan hidup berubah seirama dengan perjalanan waktu. Dalam kaitan ini Y. Singgih D. Gunarso dan Singgih D. Gunarso mengemukakan, “Sering orang tua menyangka bahwa anak sudah mengerti segala sesuatu yang telah disampaikannya. Padahal belum tentu anak dapat menangkapnya secara keseluruhan. Tambahan pula bahwa terdapat perbedan antara orang tua dengan baik. Sering pula orang tua tidak menyadari jurang tersebut sehingga anak kurang dikenalinya. Ada pula orang tua yang mengharapkan hasil yang tidak mungkin dicapai oleh kemampuan anak. Tidak terpenuhi harapan-harapan orang tua menimbulkan kekecewaan-kekecewaan baik dipihak anak maupun dipihak orang tua” (1988: 23)
Kondisi ini menyebabkan keretakan hubungan antara orang tua dengan anak. Anak merasa tertekan, serba takut, cemas dan sebagainya. Jika kondisi ini berkepanjangan bisa berakibat pada terjadinya frustasi pada anak. Menurut Strauss dan Sayles: “Sebenarnya setiap orang mampu menanggapi sejumlah tekanan dengan cukup baik. Tetapi setiap orang memounyai titik kritis yang apabila terlampaui (tekanan terlalu besar) bisa berakibat pada terjadinya frustasi, yaitu: “(1) apatis atau (2) agresif” (Miftah Toha, 1985: 48). Dikemukakan pula oleh Frans Mataheru bahwa, ”Tekanan yang terlalu besar menyebabkan seseorang tidak berani berpendapat serba takut berbeda dengan orang lain” (1982: 5).
Tekanan yang berlebihan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak dapat berakibat pada terjadinya dua perilaku negatif, yaitu apatis atau agresif. Perilaku apatis umumnya ditunjukkan dalam bentuk perilaku anak yang serba menurut apa yang diperintahkan oleh orang tua yang semata-mata karena “takut”. Sehingga segala yang diperintahkan oleh orang tuanya berupaya untuk dapat dilaksanakan secara optimal tanpa berani menyangkal, meskipun sebenarnya tidak/kurang disukai.
Perilaku agresif umumnya ditunjukkan dalam bentuk perilaku anak yang serba menentang keinginan orang tua dengan keberanian menanggung segala kemungkinan yang terjadi. Sehingga tidak jarang dijumpai terjadinya pertengkaran orang tua dengan anak.
Menurut Kartini Kartono orang tua yang selalu menekan terhadap anak disebut “Keluarga/orang tua yang mengalami meladjusmant (tidak bisa menyesuaikan diri dengan kondisi hidup baru). Itu menjadi persemaian subur bagi timbulnya kekalutan jiwa diri anak, anak banyak mengalami ketegangan batin, kerisauan jiwa dan kecemasan” (1986: 124).
Dalam kondisi tertekan, seoarng anak dapat menurun gairah belajaranya, merasa malas, murung, sedih benci dan sebagainya. Sehingga pada gilirannya kondisi ini berakibat negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan anak.
4.2.2 Efektivitas Belajar
Efektifitas belajar adalah tingkat kemampuan siswa dalam mencapai tujuan instruksional khusus yang telah ditetapkan pendidik. Tingkat pencapaian tujuan instruksional khusus tersebut pada umumnya berupa skor hasil belajar. Proses belajar-mengajar didasarkan atas tujuan berikut :
1) Tujuan Instruksional Umum dan
2) Tujuan Instruksinal Khusus.
Dikemukan oleh Roestiyah N.K. bahwa: “Tujuan intruksional adalah tujuan yang dirumuskan dari bahan pelajaran/pokok bahasan atau sub pokok bahasan (topik-topik atau sub topik) yang akan diajarkan oleh guru. Tujuan instruksional ini dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tujuan instruksional umum (TIU) dan tujuan instruksional khusus (TIK)”. (1982: 42).
Dalam proses belajar mengajar, seorang guru (tenaga pengajar) dituntut melakukan evaluasi sejauh mana tujuan instruksional yang ditetapkan dapat dicapai oleh siswa. Demikian pentingnya tujuan instruksional khusus dalam proses belajar mengajar, Roestiyah N.K. mengemukan sebagai berikut :“Tujuan instruksional khusus hendaknya dirumuskan dengan jelas dan menyatakan penampilan tingkah laku atau kemampuan-kemampuan yang kita harapkan dimiliki siswa setelah mereka mengikuti pengajaran yang diberikan oleh guru. Tujuan instruksional khusus hendaknya secara spesifik dan operasional, sehingga hasil tingkah laku yang diharapkan dapat diamati (observable) dan dapat diukur (measurable)” (11982: 50).
Oleh karena tercapai tidaknya tujuan instruksional khusus dalam suatu proses belajar mengajar dipergunakan sebagai tolak ukur tercapai tidaknya efektifitas pengajaran dan sekaligus juga efektifitas belajar.
Pengaruh Lingkungan Keluarga terhadap Efektifitas Belajar
Lingkungan keluarga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas belajar siswa. Dalam hal ini jika lingkungan keluarga dalam kondisi harmonis memungkinkan bagi siswa untuk belajar secara efektif. Sebaliknya jika lingkungan keluarga dalam kondisi berantakan (broken home) dan orang tua terlalu bersikap berlebihan terhadap anak (baik terlalu memanjakan atau sebaliknya terlalu menekan) siswa tidak/kurang dapat belajar secara efektif, sebab dalam kondisi lingkungan keluarga yang berantakan (broken home) kondisi psikologis anak menjadi serba tidak tenang. Sehingga anak kurang dapat memusatkan perhatiannya terhadap mata pelajaran yang sedang dipelajarinya. Bahkan bisa jadi anak tidak tenang tinggal di rumah, karena dirasakan lingkungan keluarga tidak ubahnya sebagai penjara. Sehingga anak menjadi malas belajar dan sangat tidak mungkin untuk dapat mencapai hasil belajar maksimal yang diharapkan. Dengan kata lain, dalam lingkungan orang tua terlalu bersikap berlebihan terhadap anak (baik terlalu memanjakan atau sebaliknya terlalu menekan), kegiatan belajar anak tidak/kurang efektif.
Berdasarkan kenyataan tersebut, dapat diidentifikasi beberapa hal yang dapat menghambat prestasi belajar siswa sebagai berikut:
Sikap orang tua yang terlalu otoriter terhadap anak, sehingga anak menjadi tertekan dan sulit berkosentrasi dalam belajarnya.
Lingkungan keluarga yang kurang mendukung belajar anak. Hal ini sangat sering dijumpai adanya gejala sosial bahwa anak menjadi matang sebelum wwaktunya.
Kurang menarik proses pembelajarannya, sehingga merasa bosan dan terkurung dalam ruangan yang dirasakan menyebalkan.
Kurang adanya komunikasi yang baik antara oihak sekolah dengan keluarga peserta didik, sehingga akar permasalahan yang terjadi pada peserta didik sulit diidentifikasi.
Kurang efektifnya penggunaan sarana dan prasarana yang ada di sekolah seperti alat peraga dan buku-buku paket bantuan pemerintah.
BAB VI PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan data yang telah dikumpulkan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
6.1.1 Dalam kontrusktivisme kegiatan belajar peserta didik adalah aktif menemukan sesuatu serta membangun sendiri pengetahuannya. Peserta didik bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya.
6.1.2 Setiap peserta didik mempunyai cara yang cocok untuk mengkontruksi pengetahuannya, sehingga membuat perbedaan dari peserta didik yang satu dengan yang lainnya dalam mengkontruksi pengetahuannya.
6.1.3 Lingkungan keluarga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas belajar siswa. Dalam hal ini jika lingkungan keluarga dalam kondisi harmonis memungkinkan bagi siswa untuk belajar secara efektif.
6.2 Saran
6.2.1 Perlindungan orang tua terhadap anak haruslah membawa misi mendorong, membimbing dan lebih banyak memberikan kesempatan kepada anak untuk mengembangkan kretifitasnya sehingga akan memperoleh bekal yang cukup dalam menghadapi problema hidup dengan penuh percaya diri.
6.2.2 Hendaknya proses pembelajaran seefektif dan semenarik mungkin, agar semakin memunculkan semangat bagi peserta didik.
6.2.3 Peserta didik hendaknya mampu memnyeimbangkan kondisi lingkungan, sehingga tidak bergantung pada pihak lain dalam penyelesaian masalah.
DAFTAR PUSTAKA
Bimo, Walgito. 1982. Metodologi Research. Yogyakarta: Yayasan Penerbit
Fakultas Psikologi, UGM
Dimyati dan Mudjiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rinneka Cipta.
Harjanto. 1997. Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Rinneka Cipta.
Indrakusuma, Drs. Amin Daien. 1973. Pengantar Ilmu Pendidikan. Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan Malang.
Leodin. 1967. Penelitian Dasar Tentang Metode Penelitian dalam Penelitian dan Statistik. Surabaya: PIRR Jatim
Miftah, Toha. 1988. Perilaku Organisasi. Jakarta: Rajawali Press.
Nasution, S.2000. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara
Sugandi, Achmad. 2005. Teori Pembelajaran. Semarang: UNNES Press.
Suryosubroto, B. 1997. Prpses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rinneka Cipta
Winaraputra, Udin S. dan Tita Rosita. 1994. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka Press
Umamah, Dra. Nurul, M.Pd. 2007. Belajar dan Pembelajaran. Jember: Jember University Press.
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/29/pembelajaran-kontekstual/
M. Ngalim Purwanto, 1991, Adminiatrasi dan Supervisi Pendidikan, Bandung,
PT. Remaja Rosdakarya
Nainggolan, H, 1987, Pembinaan Pegawai Negeri Sipil, Jakarta, t.p
Piet A, Sahartian dan Frans Mataheru, 1982, Prinsip dan Tehnik Supervisi
Pendidikan, Surabaya, Usaha Nasional
Reksosiswojo, 1952, Kamus Suku Pendidikan Sejarah, Jakarta, Y.B. Walters.
Schuller, Randdall, S., 1987, Personal And Human Resource Management
New York, West Pusblishing Company.
Sru Adji Suryadi, 1987, Metodologi Penelitian, Jilid I, Jember, Yayasan
Bandranaya.
Strauss dan Sayles, 1986, Management Personalia, Jilid I, II dan III, Segi
Manusia Dalam Organisasi, Jakarta, PT. Pustaka Binaman Pressindo.
Sru Adji Suryadi, 1978, Metodologi Penelitian, Jilid I, Jember, Yayasan
Bandranaya.
Suharsimi Arikunto, 1987, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik,
Jakarta, PT. Bina Aksara.
Sutrisno Hadi, 1987, Metodologi Research, Jilid I, II dan III, Yogyakarta,
Fakultas Psikologi UGM.
Tahalele,1983, Kepemimpinan Pendidikan, Malang, Proyek Peningkatan dan
Pengembangan Perguruan Tinggi, IKIP.
Winarno Surachmad, 1975, Dasar Dan Tehnik Research Pengantar Metodologi
Ilmiah, Bandung, CV. Tarsito
Oleh: Kedawung Senja
Trimz kepada sahabat terbaekQ, Isnan dan 'Go Kong'.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar