semburat jingga

semburat jingga
tenggelam.... kembali

Rabu, 09 Desember 2009


BAB I PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Masalah lingkungan yang dihadapi dewasa ini pada dasarnya adalah masalah ekologi manusia. Masalah itu timbul karena perubahan lingkungan yang menyebabkan lingkungan itu kurang sesuai lagi untuk mendukung kehidupan manusia.
Permasalahan lingkungan hidup dewasa ini banyak dibicarakan, karena telah tampak adanya gejala dan kecenderungan pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh perbuatan manusia. Misalnya penggundulan hutan yang mengakibatkan erosi, polusi udara, pencemaran sumber daya air dan sungai sebagai akibat dari pembuangan limbah industri dan limbah rumah tangga serta banyak kasus lain yang sekarang sudah menjadi fenomena umum. Pencemaran sumber daya alam dan pencemaran lingkungan hidup sebenarnya bukan saja terjadi akibat pembangunan yang kurang bijaksana, melainkan juga disebabkan karena pertumbuhan penduduk yang amat pesat sehingga di beberapa tempat telah melampaui daya dukung lingkungan.
Kerusakan lingkungan yang terjadi dikarenakan eksplorasi sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan. Kerusakan lingkungan ini telah mengganggu proses alam, sehingga banyak fungsi ekologi alam terganggu.
Masalah lingkungan tidak berdiri sendiri, tetapi selalu saling terkait erat antara lain adalah dengan populasi manusia yang kian meningkat, polusi, penurunan jumlah sumber daya, perubahan lingkungan global dan perang.
Banyak faktor yang menjadi penyebab menurunnya kualitas lingkungan. Diantaranya, yaitu rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat tentang lingkungan, sehingga mereka kurang respon untuk dapat menerima informasi yang bermanfaat bagi dirinya. Di samping itu, kebiasaan hidup masyarakat yang selalu membuang sampah di sembarangan tempat, sulit untuk diubah dan ketidak pedulian terhadap lingkungan yang mengakibatkan lingkungan menjadi kotor dan tercemar.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan agar masyarakat berpartisipasi dalam pelestarian lingkungan antara lain:
(1) tingkat pendidikan.
(2) Peningkatan penghasilan.
(3) Pengetahuan tentang kearifan lokal.
(4) Penerapan sistem pertanian konservasi (terasering, rorak – tanah yang digali dengan ukuran tertentu yang berfungsi menahan laju aliran permukaan, tanaman penutup tanah, pergiliran tanaman, agroforestry, olah tanam konservasi–pengolahan yang tidak menimbulkan erosi.
Laporan hasil observasi ini berusaha menguraikan masalah Hubungan Tingkat Pendidikan dan Ekonomi Dalam Partisipasi Masyarakat Terhadap Pemeliharaan Kualitas Air Sungai Bedadung.

1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana hubungan tingkat pendidikan terhadap partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kualitas air sungai Bedadung?
1.2.2 Bagaimana hubungan tingkat ekonomi terhadap partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kualitas air sungai Bedadung?

1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikan terhadap partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kualitas air sungai Bedadung.
1.3.2 Untuk mengetahui hubungan tingkat ekonomi terhadap partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kualitas air sungai Bedadung.

1.4 Manfaat
Adapun manfaat yang diharapkan bisa dicapai dari observasi yang dilakukan adalah sebagi berikut:

1.4.1 Bagi masyarakat
1.4.1.1 Agar masyarakat memperoleh informasi tentang pemeliharaan kualitas air sungai.
1.4.1.2 Agar masyarakat mengetahui manfaat pemeliharaan kulitas air sungai.
1.4.2 Bagi Pemerintah
1.4.2.1 Sebagai referensi untuklebih memperhatikan dan memelihara kualitas air sungai.
1.4.2.2 Sebagai acuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pemeliharaan kualitas air sungai melalui peningkatan mutu pendidikan dan ekonomi masyarakat.




















BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Pendidikan Masyarakat
Kualitas pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Rendahnya kualitas pendidikan Indonesia juga ditunjukkan oleh data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia, hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP). Hal ini berarti, ada something wrong (masalah) dalam sistem pendidikan Indonesia. Ditinjau secara perspektif ideologis (prinsip) dan perspektif teknis (praktis), berbagai masalah itu dapat dikategorikan dalam 2 masalah yaitu :
a. Masalah mendasar
Merupakan kekeliruan paradigma pendidikan yang mendasari keseluruhan penyelenggaran sistem pendidikan.
Jarang ada orang mau mengakui dengan jujur, sistem pendidikan kita adalah sistem yang sekular-materialistik. Biasanya yang dijadikan argumentasi, adalah UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 4 ayat 1 yang berbunyi, "Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air."
Ini jelas tidak akan mampu mewujudkan anak didik yang sesuai dengan tujuan dari pendidikan nasional sendiri, yaitu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Kacaunya kurikulum ini tentu saja berawal dari asasnya yang sekular, yang kemudian mempengaruhi penyusunan struktur kurikulum yang tidak memberikan ruang semestinya bagi proses penguasaan agama dan pembentukan kepribadian beragama.
Sistem pendidikan yang material-sekularistik tersebut sebenarnya hanyalah merupakan bagian belaka dari sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang juga sekular. Dalam sistem sekular, aturan-aturan, pandangan, dan nilai-nilai Islam memang tidak pernah secara sengaja digunakan untuk menata berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan. Karena itu, di tengah-tengah sistem sekularistik ini lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama.

b. Masalah-masalah cabang
Merupakan berbagai problem yang berkaitan aspek praktis/teknis yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan, seperti mahalnya biaya pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya sarana fisik, rendahnya kesejahteraaan guru, dan sebagainya. Masalah-masalah cabang ini tentu banyak sekali macamnya, di antaranya yang terpenting adalah sebagai berikut :
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
2. Rendahnya Kualitas Guru
Kebanyakan guru di Indonesia belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Selain itu, persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan adalah sebagai berikut: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta). Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya.
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup, dimana guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen.
4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru, pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Dalam laporan tahunan United Nations for Development Programme (UNDP) berjudul Human Development Report 2004 15 September 2004Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.


5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
6. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
7. Mahalnya Biaya Pendidikan
Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah. Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini karena kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Sehingga, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Kondisi ini lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit. Hal ini juga terjadi sebagai akibat dari tekanan utang Indonesia.
Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

2.2 Ekonomi Masyarakat
Dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan yang menuntut reformasi menyeluruh di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tingkat penyediaan, kualitas pelayanan jasa serta efektivitas pengelolaan infrastruktur.
Krisis ekonomi menurunkan kemampuan penyediaan jasa pelayanan sarana dan prasarana, terutama karena berkurangnya kemampuan pendanaan dalam memenuhi kebutuhan operasi dan pemeliharaan jaringan sarana dan prasarana fisik yang telah ada.
Sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi yang berorientasi kepada Ketuhanan Yang Maha Esa (berlakunya etik dan moral agama, bukan materialisme); Kemanusiaan yang adil dan beradab (tidak mengenal pemerasan atau eksploitasi); Persatuan Indonesia (berlakunya kebersamaan, asas kekeluargaan, sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi dalam ekonomi); Kerakyatan (mengutamakan kehidupan ekonomi rakyuat dan hajat hidup orang banyak); serta Keadilan Sosial (persamaan/emansipasi, kemakmuran masyarakat yang utama bukan kemakmuran orang-seorang). Dari butir-butir di atas, keadilan menjadi sangat utama di dalam sistem ekonomi Indonesia. Keadilan merupakan titik-tolak, proses dan tujuan sekaligus. Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal utama bertumpunya sistem ekonomi Indonesia yang berdasar Pancasila, dengan kelengkapannya, yaitu Pasal-pasal 18, 23, 27 (ayat 2) dan 34 UUD 1945.
Berdasarkan TAP MPRS XXIII/1966, ditetapkanlah butir-butir Demokrasi Ekonomi (kemudian menjadi ketentuan dalam GBHN 1973, 1978, 1983, 1988), yang meliputi penegasan berlakunya Pasal-Pasal 33, 34, 27 (ayat 2), 23 dan butir-butir yang berasal dari Pasal-Pasal UUDS tentang hak milik yuang berfungsi sosial dan kebebasan memilih jenis pekerjaan. Dalam GBHN 1993 butir-butir Demokrasi Ekonomi ditambah dengan unsur Pasal 18 UUD 1945. Dalam GBHN 1998 dan GBHN 1999, butir-butir Demokrasi Ekonomi tidak disebut lagi dan diperkirakan dikembalikan ke dalam Pasal-Pasal asli UUD 1945.
Landasan normatif-imperatif ini mengandung tuntunan etik dan moral luhur, yang menempatkan rakyat pada posisi mulianya, rakyat sebagai pemegang kedaulatan, rakyat sebagai ummat yang dimuliakan Tuhan, yang hidup dalam persaudaraan satu sama lain, saling tolong-menolong dan bergotong-royong.
Perekonomian kembali bergolak. Krisis yang terjadi akhir-akhir ini tidak mungkin bisa diselesaikan jika kita hanya menunggu solusi. Pemerintah sudah bukan saatnya lagi menyerahkan kebijakan pada pasar. Pemerintah juga harus selektif terhadap investasi yang dikuasai pihak asing. Pemerintah seharusnya tidak melepas semua sektor pada pasar, ketika menerapkan sistem ekonomi liberalis. Setiap komponen yang memiliki kontribusi terhadap perekonomian, harus diberi ruang agar dapat mendorong peningkatan pembangunan ekonomi negara. Pihak swasta juga diberi kebebasan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab dalam pembangunan ekonomi negeri ini. Tapi, perlu digarisbawahi bahwa pemerintahj mempunyai kekuatan dalam mengatur dan mengendalikan perekonimian Indonesia apabila menimbulkan suatu maslah yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Pemerintah juga harus mendukung semua kegiatan swasta dalam negeri seperti membuat kebijakan-kebijakan ekonomi yang dapat menguntungkan kepentingan pengusaha dalam negeri.
Selain itu, pemerintah hendaknya memberdayakan ekonomi masyarakat dengan menciptakan kemandirian pada masyarakat seperti bantuan untuk UKM (Usaha Kecil Menengah). Apabila ekonomi masyarakat bawah dapat mandiri danterlindungi, tentunya akan membawa energi positif dalam perekonomian nasional, karena masyarakat tidak lagi bergantung pada negara.
Hal di atas juga akan lebih sehat dengan penciptaan sistem ekonomi yang stabil dan tahan krisis. Dalam hal ini, pemerintah hendaknya cermat dan selektif dalam mengamvil kebijakan ekonomi dan lebih memprioritaskan kepentingan dalam negeri daripada kepentingan asing. Kebijakan dan kepedulian ini nantinya akan melahirkan image baru bagi masyrakat untuk menciptakan kesejahteraan hidupnya. Image masyarakat yang ingin mendapatkan pekerjaan akan berubah menjadi image masyarakat untuk menciptakan pekerjaan. Dengan begitu beban pemerintah akan semakin berkurang, karena akan terbentuk kualitas masyarakat yang mandiri dan tidak (selalu) bergantung pada pemerintah.

2.3 Pemeliharaan Kualitas Air Sungai
Air merupakan sumber daya alam yang mempunyai fungsi sangat penting bagi kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya serta sebagai modal dasar dalam pembangunan. Dengan perannya yang sangat penting, air akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kondisi/komponen lainnya. Pemanfaatan air untuk menunjang seluruh kehidupan manusia jika tidak dibarengi dengan tindakan bijaksana dalam pengelolaannya akan mengakibatkan kerusakan pada sumber daya air. Sebagai tempat penampungan air maka sungai mempunyai kapasitas tertentu dan ini dapat berubah karena aktivitas alami maupun antropogenik. Sebagai contoh pencemaran sungai dapat berasal dari:
1. Tingginya kandungan sedimen yang berasal dari erosi, kegiatan pertanian, penambangan, konstruksi, pembukaan lahan dan aktivitas lainnya;
2. Limbah organik dari manusia, hewan dan tanaman;
3. Kecepatan pertambahan senyawa kimia yang berasal dari aktivitas industri yang membuang limbahnya ke perairan.
Ketiga hal tersebut merupakan dampak dari meningkatnya populasi manusia, kemiskinan dan industrialisasi. Penurunan kualitas air akan menurunkan daya guna, hasil guna, produktivitas, daya dukung dan daya tampung dari sumber daya air yang pada akhirnya akan menurunkan kekayaan sumber daya alam. Untuk menjaga kualitas air agar tetap pada kondisi alamiahnya, perlu dilakukan pengelolaan dan pengendalian pencemaran air secara bijaksana.
Secara langsung maupun tidak langsung sungai mempunyai fungsi ganda yaitu untuk keperluan hidup dan sebagai tempat pembuangan bahan-bahan sisa. Jenis dan bobot dampak pembangunan terhadap lingkunan perairan selain dipengaruhi oleh kondisi alam (seperti topografi, geologi, fisiografi, klimatologi dan hidrografi) ditentukan pula oleh jenis dan macam kegiatan, teknologi yang digunakan, keanekaragaman kegiatan, intensitas dan kepadatan kegiatan dan laju perubahan yang terjadi di suatu daerah aliran sungai dimana perairan itu berasal atau berada. Lingkungan perairan terdiri dari komponen abiotik (komponen tidak hidup) dan biotik (biota hidup). Kedua komponen itu saling berinteraksi melalui arus energi dan daur hara (nutrien). Resultan interaksi dari kedua komponen itu berupa kualitas air. Apabila interaksinya berubah atau terganggu, maka kualitas air dari lingkungan perairan itu berubah pula. Sehingga aktivitas manusia akan mempengaruhi lingkungan air permukaan.
Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran menyatakan bahwa untuk menjamin kualitas air yang dinginkan sesuai peruntukannya agar tetap dalam kondisi alamiahnya, maka perlu dilakukan upaya pengelolaan kualitas air. Upaya pengelolaan kualitas air dilakukan pada :
• sumber yang terdapat di dalam hutan lindung;
• mata air yang terdapat di luar hutan lindung; dan
• akuifer air tanah dalam
Kualitas air adalah kondisi kualitatif air yang diukur dan atau diuji berdasarkan parameter-parameter tertentu dan metode tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 115 Tahun 2003). Kualitas air dapat dinyatakan dengan parameter kualitas air. Parameter ini meliputi parameter fisik, kimia, dan mikrobiologis. Parameter fisik menyatakan kondisi fisik air atau keberadaan bahan yang dapat diamati secara visual/kasat mata. Yang termasuk dalam parameter fisik ini adalah kekeruhan, kandungan partikel/padatan, warna, rasa, bau, suhu, dan sebagainya.
Parameter kimia menyatakan kandungan unsur/senyawa kimia dalam air, seperti kandungan oksigen, bahan organik (dinyatakan dengan BOD, COD, TOC), mineral atau logam, derajat keasaman, nutrient/hara, kesadahan, dan sebagainya.
Parameter mikrobiologis menyatakan kandungan mikroorganisme dalam air, seperti bakteri, virus, dan mikroba pathogen lainnya.Berdasarkan hasil pengukuran atau pengujian, air sungai dapat dinyatakan dalam kondisi baik atau cemar. Sebagai acuan dalam menyatakan kondisi tersebut adalah baku mutu air, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001.
Kualitas air sungai tergantung pada kondisi di daerah hulu dan daerah yang dilewati oleh aliran sungai. Pencemaran yang terjadi di air sungai pasti disebabkan oleh sumber pencemaran di daerah tersebut. Dari daerah tangkapan hujan dan daerah hulu, pencemaran dapat berasal dari humus di hutan (meningkatkan BOD dan COD, lebih spesifik berupa bahan organik alami), erosi di daerah hutan dan hilir sungai (meningkatkan kandungan padatan dalam air), pengalihan lahan hutan ke pertanian (menigkatkan kandungan pestisida dalam air), dan sebagainya. Dari daerah di sepanjang aliran sungai, pencemaran berasal dari pembuangan air limbah domestik, limbah pertanian, dan limbah industri.
Pengaruh kerusakan hutan pada kualitas air sungai adalah:
• Pada musim hujan, kandungan lumpur dalam air sungai sangat tinggi
• Pada musim kemarau, pengaruh pembuangan limbah industri dan domestik sangat mempengaruhi kualitas air sungai karena debit sungai kecil

Indikator Kandungan Bahan Organik
Bahan organik dalam air sungai dapat dikelompokkan menjadi bahan organik alami (asam humat dan asam fulvat) dan bahan organik non-alami. Bahan organik alami berasal dari humus yang banyak terdapat di permukaan tanah hutan, sementara bahan organik non-alami berasal dari limbah domestik, pertanian, dan industri. Hutan yang terjaga baik, kandungan humusnya tidak banyak terbawa ke air sungai karena hujan yang jatuh di atas tanah hutan sebagian besar meresap ke dalam tanah dan kandungan humus akan teradsorpsi oleh komponen tanah, sehingga tidak sampai mesuk ke air tanah dan sumber air. Sebaliknya, hutan yang telah rusak, erosi permukaan tanah hutan cukup besar. Humus akan terbawa oleh limpasan permukaan dan masuk ke sungai. Jadi, kandungan bahan organik alami yang tinggi dalam air sungai mengindikasikan kondisi hulu DAS yang hutannya telah rusak.

Indikator Kandungan Padatan
Kandungan padatan dalam air sungai berasal dari air limbah atau hasil erosi di hulu sungai. Terdapat perbedaan yang mencolok antara padatan yang berasal dari erosi dan air limbah. Padatan dari erosi umumnya adalah padatan yang mudah mengendap (settleable solid) karena mempunyai ukuran partikel yang besar, sementara padatan dari air limbah cenderung berukuran kecil dan tersuspensi, bahkan terlarut. Pada musim hujan, kandungan lumpur yang sangat tinggi akan terbawa sampai ke hilir karena debit air yang besar. Tetapi, pada musim kemarau dengan debit yang kecil, lumpur telah mengendap di daerah hulu. Hal ini akan menjadi permasalahan yang serius berupa terjadinya pendangkalan pada waduk.Jadi kandungan lumpur yang sangat besar pada musim hujan dapat dijadikan indikator telah rusaknya hutan di daerah hulu.
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air Dan Pengendalian Pencemaran Air Pasal 8, mutu air diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang memper-syaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;
b. Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;
c. Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;
d. Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi tanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.


2.4 Sungai Bedadung
Sungai Bedadung adalah sungai yang membelah bagian tengah wilayah Jember dengan mata air dari Pegunungan Hyang dan bermuara di Samudera Indonesia.
Kondisi yang ada di DAS Bedadung khususnya di perkotaan telah terdesak oleh perkembangan pemukiman penduduk, dengan bangunan yang rata–rata membelakangi sungai dan memanfaatkannya sebagai tempat buangan air limbah rumah tangga.
























BAB III METODE PENELITIAN


3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Observasi/penelitian dalam proses pengumpulan data dilakukan pada:
hari/tanggal : Jum’at, 01 Mei 2009
tempat : Pemukiman penduduk di Jalan Semanggi Blok Durenan RT 04 dan RT 05 RW 02 (pemukiman penduduk dekat jembatan Semanggi)
jam : Pk. 14.00 s/d 17.00
Alokasi waktu dan tempat observasi yang dipilih oleh penulis didasari oleh pengamatan bahwa tempat/daerah tersebut merupakan pemukiman yang berinteraksi langsung dengan aliran air sungai Bedadung dan waktu yang dipilih adalah jam-jam dimana masyarakat yang bermukim di daerah tersebut mayoritas berada di rumah.

3.2 Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi penelitian adalah masyarakat yang berdomisili di Pemukiman penduduk jalan Semanggi Blok Durenan (pemukiman penduduk dekat jembatan Semanggi).
2. Sampel
Sampel penelitian ini diambil kurang lebih 25 % dari jumlah populasi yang ada, yaitu 75 orang.

3.3 Definisi operasional
Definisi operasional pada penelitian ini mencakup dua variabel yakni, tingkat pendidikan dan ekonomi masyarakat sekitar Sungai Bedadung yang bermukim Jalan Semanggi Blok Durenan RT 04 dan RT 05 RW 02 (pemukiman penduduk dekat jembatan Semanggi).

3.4 Desain Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian/observasi ini adalah bersifat deskriptif yang menggambarkan kepedulian atau partisipasi masyarakat dalam pemeliharaan kualitas air sungai Bedadung.

3.5 Cara Pengambilan Data
1. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari responden yang dikumpulkan oleh peneliti dengan menggunakan kuisioner yang telah disiapkan.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang di peroleh dari ketua RT dan data dari Pemukiman penduduk di pinggir sungai Bedadung.

3.6 Teknik dan Alat Perolehan Data
Pada penelitian ini penulis menggunakan kuesioner. Adapun yang dimaksud dengan kuesioner adalah teknik pengumpulan data dengan mengajukan instrumen pertanyaan secara tertulis kepada responden. Dalam penelitian ini kuesioner yang digunakan angket yang berstruktur yaitu yang telah dilengkapi dengan jawaban dan responden cukup memilih pilihan jawaban yang dianggap yang paling benar sesuai dengan pendapat dan pengalaman. Pertanyaan yang diajukan terhadap responden terdiri dari 13 (tiga belas) item pertanyaan.
Data juga diperoleh melalui studi kepustakaan (dari literatur dan beberapa karya tulis/hasil karya tulis ilmiah yang berupa tesis, desertasi, prosiding, jurnal, dan artikel yang terkait dengan obyek penelitian), melalui wawancara/tanya jawab kepada masyarakat di bantaran sungai Bedadung dan pengamatan secara tidak langsung dengan merekam dan mengambil gambar sebagai pembuktian kondisi lapangan.


3.7 Teknik Penyajian dan Analisa Data
Data yang telah dikumpul diolah dengan cara koding, editing, dan tabulasi data, disajikan dalam bentuk tabel sederhana.
1. Coding, Setelah dilakukan, langkah selanjutnya yang ditempuhkan adalah melakukan peng-kode-an data (koding). Dalam penelitian ini hanya menggunakan pertanyaan tertutup.
2. Editing, Setelah data berhasil dikumpulkan, langkah selanjutnya yang perlu dilakukan adalah mengolah data sedemikian rupa shingga jelas sifat-sifatnya yang dimiliki oleh data tersebut. Untuk dapat melakukan pengolahan data dengan baik, data tersebut perlu diperiksa terlebih dahulu, apabila telah sesuai seperti yang diharapkan atau tidak. Dalam melakukan editing ada yang beberapa hal yang perlu diperhatikan yakni :
a) Memeriksa kelengkapan data.
b) Memeriksa kesenambungan data.
c) Memeriksa keseragaman data.
Tahap editing peneliti melakukan pengecekan terhadap data-data yang ada baik dari hasil observasi maupun dari kuesioner . Untuk mengetahui tingkat pengetahuan menggunakan kuesioner dengan jumlah pertanyaan 13 item. Setelah semua nilai terkumpul, dijumlahkan selanjutnya dilakukan analisa hububgan tingkat pendidikan dan ekonomi terhadap partisipasi masyarakat dalam pemeliharaan kualitas air sungai.
3. Entri, Memasukkan data kedalam tabel dan mengolah data.
4. Tabulating, Setelah editing dan koding, langkah adalah mengelompokkan data tersebut dalam suatu tabel tertentu menurut sifat-sifat yang dimilikinya sesuai dengan tujuan penelitian.
5. Cleaning, data diperiksa kembali sehingga benar-benar bebas dari kesalahan.




BAB IV HASIL PENELITIAN


Dari seluruh penduduk penghuni pemukiman di bantaran sungai Bedadung jalan Semanggi, penulis mengambil sampel sebanyak 75 responden dengan hasil sebagai berikut:
4.1. Berdasarkan tingkat pendidikan responden
Aktivitas sehari-hari di sungai Bedadung Tingkat pendidikan
SD SMP SMA PT
Mandi **** *** ** *
Mencuci * *
Membuang sampah ** ** *
Kerja bakti ** * ** **
Lain-lain ** *** ***
Keterangan:
**** : selalu
*** : sering
** : kadang-kadang
* : jarang

4.2. Berdasarkan tingkat ekonomi responden
Aktivitas sehari-hari di sungai Bedadung Tingkat pekerjaan
buruh wiraswasta PNS Lain-lain
Mandi **** *** ** *
Mencuci * *
Membuang sampah ** ** *
Kerja bakti ** * ** **
Lain-lain ** *** *** *
Keterangan:
**** : selalu
*** : sering
** : kadang-kadang
* : jarang

Penelitian ini diambil di lokasi pemukiman penduduk di Jl. Semanggi blok Durenan (pemukiman penduduk di pinggir sungai Bedadung) Jember. Berdasarkan hasil pengamatan dan penelitian lapangan serta hasil wawancara dengan masyarakat setempat dan RT, maka diperoleh informasi bahwa mata pencaharian mereka bervariasi, antara lain: tukang becak, pemulung, pengemis, petugas kebersihan, pedagang dengan pendidikan tertinggi sekolah dasar dan sebagian besar tidak berpendidikan. Kegiatan Mandi Cuci dan Kakus (MCK) secara komunal berbatasan langsung dengan sungai.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kegiatan yang mereka lakukan bersama terutama adalah mencuci pakaian, mandi, memasak, dan bersosialisasi. Kegiatan ini rata–rata dilakukan di sekitar sungai. Mandi dan mencuci dilakukan langsung di sisi sungai maupun sumber dan waktu yang digunakan pada pagi dan sore hari, antara pukul 8.00 – 11.00 WIB dan pukul 15.00 – 17.30 WIB. Sedangkan kegiatan bersosialisasi atau silaturrahmi dengan tetangga umumnya dilakukan di depan rumah pada sore hari, antara jam 15.00 – 18.00 WIB.










BAB V PEMBAHASAN


Sungai Bedadung adalah satu sungai yang membelah kota Jember. Namun yang akan dibahas disini adalah masyarakat di sekitar sungai Bedadung, tepatnya masyarakat yang bermukim di blok Durenan. Kondisi bantaran sungai di daerah tersebut telah terdesak oleh perkembangan pemukiman penduduk, dengan bangunan yang rata–rata membelakangi sungai dan memanfaatkannya sebagai tempat buangan limbah rumah tangga. Penelitian ini kita ambil lokasi permukiman di DAS Bedadung di jalan Semanggi Blok Durenan Kabupaten Jember. Berdasarkan hasil pengamatan dan kuesioner serta hasil wawancara dengan masyarakat setempat dan RT, diperoleh informasi bahwa mata pencaharian mereka bervariasi antara lain: wiraswasta, buruh, PNS, tukang becak, bengkel/tambal ban, dan petugas kebersihan, dan pedagang. Dari segi pendidikan, masyarakat sekitar bantaran sungai Bedadung blok Durenan tersebut cukup bervariasi.
Sungai Bedadung memiliki manfaat yang begitu besar bagi masyarakat di sekitar sungai Bedadung. Hal ini dapat terlihat dari aktivitas kehidupan yang dilakukan mereka di sungai Bedadung tersebut. Sungai Bedadung dimanfaatkan untuk irigasi, dan aktivitas lain seperti mandi dan mencuci. Selain itu, pinggiran sungai Bedadung merupakan tempat yang strategis bagi anak-anak kecil untuk bermain, terutama bermain laying-layang. Aktivitas di bantaran Sungai Bedadung dekat pemukiman tersebut akan tampak sangat padat pada pagi hari pukul 06.00 – 08.00 WIB dan sore hari pukul 15.00 – 17.30 WIB.
Menurut masyarakat setempat mereka terbiasa melakukan aktivitas seperti mandi dan mencuci di sungai. Sebenarnya sudah tersedia sumber sebagai tempat mandi dan mencuci umum. Sumber tersebut dibangun dari swadaya masyarakat sekitar pemukiman tersebut. Namun demikian, kebiasaan beraktivitas di sungai begitu sulit mereka tinggalkan. Jadi hanya sebagian kecil saja masyarakat yang memanfaatkan sumber tersebut. Penggunaannya pun sebenarnya memiliki dampak yang sama terhadap sungai seperti ketika mereka mandi dan mencuci di sungai, karena limbah sabun/detergennya dialirkan ke sungai. Selain itu, daerah di pinggir sungai menjadi tempat pembuangan sampah organic maupun anorganic rumah tangga, yang kemudian dibakar seminggu atau dua minggu sekali.
Namun demikian, dampak secara langsung bagi masyarakat belum nampak. Karena sejauh ini mereka tidak pernah menderita penyakit yang terkait dengan kebersihan atau kualitas air sungai Bedadung, seperti gatal-gatal dan sebagainya.
Sungai Bedadung bukan hanya tercemar karena aktivitas masyarakat yang bermukim di sekitar bantaran sungai tersebut, melainkan juga karena tangan-tangan tak bertanggung jawab yang mencemari sungai Bedadung, seperti sampah berupa bulu-bulu ayam dan sampah dari pemotongan ayam yang dibuang ke sungai tersebut oleh para pedagang kaki lima. Hal tersebut tidak hanya mencemari air sungai Bedadung, tapi juga udara di sekitar. Karena jika sampah tersebut terendam air dan tidak mengalir, maka akan menimbulkan bau yang amis atau tidak sedap di sekitar tempat tersebut.
Seharusnya fenomena tersebut mendapatkan perhatian dari pemerintah. Tapi yang terjadi di daerah tersebut malah sebaliknya, pemerintah terkait sampai saat ini belum menunjukkan kepeduliannya. Pemerintah masih mementingkan skala prioritas, karena daerah terbut merupakan daerah kecil dan dampak dari pencemaran sungai masih akan nampak setelah sekian generasi. Masyarakat mengharapkan adanya sumbangsih dari pemerintah terkait dalam pemeliharaan air sungai. Selama ini, belum ada penyuluhan-penyuluhan terkait dengan pemeliharaan sungai, kecuali oleh Ketua RT sendiri.
Kepedulian dari pemerintah seharusnya lebih diwujudkan melalui pemfasilitasan pembuangan sampah, sehingga tidak mencemari lingkungan sekitar sungai Bedadung.

5.1. Hubungan Tingkat Pendidikan Terhadap Partisipasi Masyarakat Dalam Pemeliharaan Kualitas Air Sungai Bedadung
Berdasarkan data dari penelitian yang telah dilakukan melalui kuesioner, wawancara dan study kepustakaan, masyarakat di bantaran Sungai Bedadung memiliki tingkat pendidikan yang beragam, mulai dari SD hingga PT. Bahkan ada juga beberapa di antara yang buta huruf. Dari 75 responden, presentasi tingkat pendidikannya adalah sebagai berikut:
a. SD/sederajat sebanyak 15 orang atau 20%
b. SMP/sederajat sebanyak 25 orang atau 33,3%
c. SMA/sederajat sebanyak 20 orang atau 26,7%
d. Perguruan tinggi/sarjana sebanyak 15 orang atau 20%
Sarana pendidikan di pemukiman tersebut sudah cukup memadai, terutama sarana pendidikan untuk anak-anak. Misalnya MTQ Nurul Jannah dan PAUD yang secara langsung dikelola oleh masyarakat setempat. Selain itu, pendidikan berorganisasi juga tampak dari aktivitas dan pengabdian dari Karang Taruna disana terhadap masyarakat sekitar.
Kebanyakan dari mereka, terutama yang berpendidikan SD – SMP memiliki frekuensi aktivitas di sungai Bedadung lebih banyak daripada mereka yang berpendidikan antara SMA – Perguruan Tinggi. Aktivitas mereka antara lain mandi, mencuci, dan lain-lain seperti memancing dan mencuci motor.
Menurut masyarakat di tempat tersebut, aktivitas yang mereka lakukan adalah aktivitas yang merupakan kebiasaan. Hidup di bantaran sungai tentu saja sulit meninggalkan berbagai aktivitas yang berkaitan dengan sungai. Seperti kebiasaan mandi di sungai yang biasa dilakukan sejak kecil, tentu saja sulit ditinggalkan, meski sudah dewasa, kecuali jika pernah tinggal di suasana berbeda dalam waktu yang relatif lama.
Berdasarkan tingkat pendidikannya, partisipasi masyarakat dalam pemeliharaan kualitas air sungai tidak jauh berbeda antara masyarakat yang berpendidikan tinggi maupun rendah. Mereka memiliki porsi yang sama dalam pemeliharaan kualitas air sungai Bedadung, seperti kerja bakti membakar sampah di pinggir sungai Bedadung yang merupakan sampah domestik rumah tangga. Yang membedakan hanyalah pengetahuan tentang kualitas dan cara pemeliharaan kualitas air sungai yang benar dan berwawasan lingkungan.
Berdasarkan data dari kuesioner, responden dengan tingkat pendidikan antara SMA – Perguruan Tinggi (Sarjana) mengkondisikan pemeliharaan sungai Bedadung masih sangat kurang atau bahkan tidak terawat. Sementara masyarakat yang tidak berpendidikan atau tingkat pendidikan yang rendah (SD/SR - SMP) mengkondisikan sungai Bedadung sebagai sungai yang kebersihannya terpelihara.
Penduduk di sekitar sungai Bedadung tersebut melakukan kerja bakti membersihkan lingkungan, membuat saluran air dan merapikan jalan secara bersama-sama. Menurut ketua RT setempat, Bapak Edward Mas’ud Madjid, Bsc., partisipasi tersebut merupakan wujud dari kebutuhan masyarakat untuk menciptakan sarana atau lingkungan yang nyaman. Namun demikian, menurutnya sungai Bedadung belum terpelihara secara maksimal, karena belum adanya pengelolaan yang baik dari sampah domestic seperti sampah rumah tangga dan septic tank.

5.2. Hubungan Tingkat Ekonomi Terhadap Partisipasi Masyarakat Dalam Pemeliharaan Kualitas Air Sungai Bedadung
Berdasarkan data dari penelitian yang telah dilakukan melalui kuesioner, wawancara dan study kepustakaan, masyarakat di bantaran Sungai Bedadung memiliki tingkat ekonomi yang beragam, seperti halnya tingkat pendidikan. Dari 75 responden, presentasi tingkat ekonomi yang ditinjau dari segi mata pencahariannya adalah sebagai berikut:
a. Buruh sebanyak 5 orang atau 6,67 %
b. Wiraswasta sebanyak 30 orang atau 40%
c. Pegawai negeri (PNS) sebanyak 13 orang atau 17,3%
d. Lain-lain (PKL, tukang becak, bengkel/tambal ban, dan petugas kebersihan) sebanyak 27 orang atau 36%.
Penduduk yang bermukim di Blok Durenan tersebut rata-rata memiliki pekerjaan sendiri dan tetap. Kebanyakan dari mereka bekerja sebagai wiraswasta, terutama pembuat kue molen. Pada waktu-waktu antara pukul 14.00 s/d 17.00 WIB, masyarakat yang bekerja sebagai pembuat maupun penjual kue molen sedang membuat kue molennya. Mereka bekerja sendiri atau dibantu oleh tetangga maupun keluarga dekat. Kue-kue tersebut biasanya dijual pada malam harinya.
Karena memiliki pekerjaan hidup sendiri, bisa dikatakan bahwa penduduk disana merupakan penduduk yang mandiri. Taraf hidupnya pun antara menengah ke atas. Hal itu juga menjadi indikasi bahwa mereka memiliki lebih banyak waktu untuk berkumpul dengan keluarga dan masyarakat sekitar. Suatu hal langka yang biasanya tidak kita temukan di daerah perkotaan bisa ditemukan disana, yaitu aktivitas hidup yang masih mengedepankan prinsip kegotong royongan.
Semua masyarakat yang bermukim di bantaran sungai di blok Durenan tersebut memiliki peran dan partisipasi yang sama dalam pemanfaatan dan pemeliharaan kualitas air sungai Bedadung. Yang membedakan dari mereka adalah waktu. Masyarakat yang bekerja sebagai PNS maupun wiraswasta yang bekerja di luar area tersebut memiliki waktu yang relative lebih sedikit daripada mereka yang memiliki pekerjaan sendiri secara langsung di rumah.
Namun demikian, untuk aktivitas kerja bakti maupun renovasi jalan, sumber (MCK), dan tempat-tempat umum disana, masyarakat bekerja bersam-sama pada hari-hari libur, seperti Sabtu atau Minggu.
Dari aktivitas mereka, sebenarnya kegiatan mencuci dan membuang sampah di pinggir sungai adalah aktivitas yang mencemari kualitas air sungai Bedadung. Menurut ketua RT setempat, jika seandainya masyarakat tidak diperbolehkan untuk membuang sampah atau pun mencuci di Sungai, tentu saja harus ada fasilitas sebagi tempat pengalihan mereka membuang sampah. Sampai saat ini, fasilitas tersebut belum bisa diciptakan karena kurangnya lahan dan tidak adanya kepedulian secara langsung dari pemerintah, seperti yang sangat diharapkan oleh masyarakat di sekitar pemukiman tersebut.



BAB VI PENUTUP


6.1 Kesimpulan
Berdasarkan observasi, wawancara, dan kuesioner, maka penulis menyimpulkan sebagai berikut:
6.1.1 Berdasarkan tingkat pendidikannya, partisipasi masyarakat dalam pemeliharaan kualitas air sungai Bedadung tidak jauh berbeda antara masyarakat yang berpendidikan tinggi maupun rendah. Tingkat pendidikan membedakan pengetahuan tentang kualitas dan cara pemeliharaan kualitas air sungai yang benar dan berwawasan lingkungan.
6.1.2 Semua masyarakat yang bermukim di bantaran sungai di blok Durenan tersebut memiliki peran dan partisipasi yang sama dalam pemanfaatan dan pemeliharaan kualitas air sungai Bedadung. Yang membedakan adalah waktu yang dimiliki oleh masing-masing masyarakat dalam pemanfaatan dan pemeliharaan kualitas air sungai Bedadung.

6.2 Saran
6.2.1 Pemerintah setempat atau pemerintah terkait hendaknya lebih peduli terhadap permasalahan lingkungan yang dalam hal ini adalah pemeliharaan kualitas air sungai Bedadung yang sudah tidak bebas lagi dari pencemaran;
6.2.2 Masyarakat hendaknya lebih menjaga dan memelihara kualitas air sungai Bedadung, yaitu dengan lebih memanfaatkan sumber (MCK umum), sehingga limbah detergen bisa diminimalisir dan menambah kesadaran dalam pemeliharaan kualitas air sungai Bedadung.




DAFTAR PUSTAKA


Agnis Purwitasari. 2006. Studi Kelayakan Sumber Mata Air Kali Bajak Sebagai Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih Warga Di Wilayah Kelurahan Karanganyar Gunung Kecamatan Candisari Semarang Tahun 2006. Skripsi. Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang.
Ananta, Aris. 1993. Ciri Demografis kualitas Penduduk dan Pembangunan Ekonomi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Fardiaz, Srikandi. 1992. Polusi Air dan Udara. Yogyakarta : Kanisius.
Buldokc ’Buletin Demokrasi Ecpose’ Fakultas Ekonomi UNEJ, Februari 2009
------- Kementrian Lingkungan Hidup, Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia 2002.
Kompas Jatim, 27 Juni, 2003.
Masnang, Andi. Konversi Penggunaan Lahan Kawasan Hulu Dan Dampaknya Terhadap Kualitas Sumberdaya Air Di Kawasan Hilir, Program Pasca Sarjana/S3, Institut Pertanian Bogor, Mei 2003.
Rahmadi, Andi, Air sebagai Indikator Pembangunan Berkelanjutan (Studi Kasus: Pendekatan Daerah Aliran Sungai), Program Pasca Sarjana/S3, Institut Pertanian Bogor, Mei 2002.
Subchan, Drs. Wachju, M.S,Ph.D. 2005. Ilmu Pengetahuan Lingkungan. Laboratorium Sumber Belajar Biologi. Jember: Unej.
http.digilib.unnes.ac.id
httpejournal.unud.ac.id
httppestabola.tempointeraktif.com
httpjatim.litbang.deptan.go.id
httpid.wikipedia.orgwikiKabupaten_Jember
httpdigilib-ampl.net
httpwww.tempo.co.id
LAMPIRAN-LAMPIRAN

1. Berbagai aktivitas di sungai Bedadung






2. Kondisi Kualitas Aair Sungai Bedadung








3. Pinggiran Sungai Bedadung menjadi tempat pembuangan sampah