hembusan angin terasa semakin lembut... membawaku berkelana dalam kidung senja-NYA, tercipta berjuta makna, yang hanya aku dan DIA...yang tahu..
semburat jingga
Jumat, 19 Maret 2010
Kontrukstivisme
Dari dua orang kawan: Isnan dan Go Kong.
BAB I
ASAL-USUL KONRUKTIVISME
Menurut Von Glaserveld (1989) gagasan konstruktivisme sebenarnya dimulai oleh Giambatista Vico, seorang epistimolog dari Italia. Bagi Vico pengetahuan selalu merujuk pada struktur konsep yang dibentuk . pengetahuan merupakan struktur konsep yang dapat digunakan.Dia menjelaskan bahwa mngetahui berarti mengetahui bagaiman membuat sesuatu. Hal ini berarti bahwa seseorang baru mengetahui sesuatu jika ia dapat menjelaskan unsure-unsur apa yang membangun sesuatu itu.
Rorty (dalam von Glaserveld, 1989) menilai kontruktivisme sebagai salah satu bentuk pragmatisme, karena hanya mementingkan bahwa suatu konsep itu dapat berlaku atau dapat digunakan. Selanjutnya, Piaget menuliskan gagasan konstruktivisme dalam teori tentang perkembangan kognitif. Ia mengungkapkan bahwa pengetahuan kita diperileh dari adaptasi struktur kognitif seseorang terhadap lingkungannya.
BAB II
PANDANGAN KONTRUKSIVISME MENGENAI PENGETAHUAN
Kontruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil kontruksi (bentukan) kita sendiri (von Glaseferd dalam Bettencourt, 1989 dan Mathews, 1994). Jadi, pengetahuan merupakan akibat dari suatu kontruksi kognitif dari kenyataan yang terjadi melalui serangkaian aktivitas seseorang sehingga membentuk skema, kategori, konsep, dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan.
Menurut kontruksivisme, pengetahuan ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Peserta didiklah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman mereka atau kontruksi yang telah mereka bangun atau miliki sebelumnya. Kontruksivisme juga menyatakan bahwa semua pengetahuan yang kita peroleh adalah hasi; kontruksi kita sendiri, maka sangat kecil kemungkinan adanya transfer pengetahuan dari seseorang kepada yang lain. Setiap orang membangun pengetahuannya sendiri, sehingga transfer pengetahuan (seperti air ke ember kosong) adalah sangat mustahil terjadi.
Menurut Von Glaserveld (1989), agar peserta didik mampu mnegkonstruksi pengetahuan, maka diperlukan:
1. Kemampuan untuk mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman. Hal ini sangat penting karena pengetahuan dibentuk berdasarkan interaksi individu dengan pengalaman-pengalaman tersebut.
2. Kemampuan untuk membandingkan dan mengambil keputusan mengenai persamaan dan perbedaan suatu hal. Kemampuan membandingkan sangat penting agar peserta didik mampu menarik sifat yang lebih umum (merapatkan) dari pengalaman-pengalaman khusus serta melihat kesamaan dan perbedaannya untuk selanjutnya membuat klasifikasi dan mengkonstruksi pengetahuannya.
3. Kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu daripada yang lain (selective conscience). Melalui suka dan tidak suka inilah muncul penilaian mahasiswa terhadap pengalaman dan menjadi landasan bagi pembentukan pengetahuannya.
Jadi gagasan kontruksivisme mengenai pengetahhuan adalah sebagai berikut:
1. Mind as inner individual representation of outer reality.
Pengetahuan merupakan kontruksi kenyataan melalui kegiatan peserta didik.
2. Reflection/abtraction as primary.
Proses abstraksi dan refleksi seseorang menjadi sangat berpengaruh dalam kontruksi pengetahuan karena peserrta didik mengkontruksi skema kognitif, kategori, konsep dan struktur dalam membangun pengetahuannya.
3. Knowledge as residing in the mind.
Pengetahuan adalah apa yang ada dalam pikiran setiap peserta didik karena pengetahuan dibentuk dalam struktur konsep masing-masing peserta didik. Struktur konsep dapat membentuk pengetahuan bila konsep baru yang diterima dapat dikaitkan atau dihubungkan (proposisi) dengan pengalaman yang dimiliki oleh peserta didik.
4. Learning as negotiated construction of meaning.
Perampatan makna merupakan proses negosiasi antara individu dengan pengalamannya melalui interaksi dalam proses belajar (menjadi tahu) karena dalam proses pembentukan pengetahuan, kebermaknaan merupakan intrepetasi individuterhadap pengalaman yang dimilikinya (Meaning as internally contruction).
BAB III
HUBUNGAN ANTARA KONSTRUKTIVISME, ALIRAN LAIN,DAN TEORI BELAJAR
Menurut staver (1986) pertanyaan yang paling mendasar itu adalah dimana letak struktur pengatuan itu? Dan apa yang disebut dengan ilmu pengetahuan? Dari pertanyaan itu para ahli menegaskan bahwa kenyataan terdiri dari dari dua dimensi : eksternal dan internal. Dimensi eksternal besifat objektif, sedangkan dimensi internal bersifat subjektif. kaum rasionalis menyatakan pengetahuan merujuk pada objek–objek dan bahwa kebenaran itu merupakan akibat dari deduksilogis. Para empiris juga menyatakan bahwa kebenaran itu pengetahuan merujuk pada objek-objek penalaran induktif dengan bukti-bukti yang diperoleh dari pengalaman. Menurut kaum empiris, semua kenyataan itu diketahui dan dipahami melalui indra, dan criteria kebenaran adalah kesesuainya. Dalam hal ini kaum rasionalis lebih menekankan rasio logika dan pengetahuan deduktif, sedangakan kaum empiris lebih menekankan pengalaman pengetahuan induktif. Menurut Staver, kontrukstivisme merupakan sintesis pandangan rasionalis dan empiris kontrukstivisme menunjukkan interaksi antara subyek dan obyek, antara realitas eksternal dan internal.
Menurut Osborne (1993) dan Mattews (1994), kontrukstivisme sering kali terkontaminasi, sehingga mengarah ke empirisme dan relativisme, terlebih dalam penyelidikan sains. Banyak kaum kontrukstivis dalam pendidikan sains menekankan bahwa semua konsep harus berdasarkan kenyataan obyektif. Beberapa kontrukstivis lainnya terlalu menekankan abstraksi atau kontruksi yang dapat mengarah ke relativisme, yang menyatakan bahwa semua konsep adalah sah. Karena setiap ide dituangkan dari suatu abstraksi harus dianggap sah. Tidak ada konsep yang lebih baik daripada lainnya. Konstruktivisme terlalu menekankan abstraksi atau konstruksi yang dapat mengarah ke relativisme, yang menyatakan bahwa semua konsep adalah sah karena setiap ide diturunkan dari suatu abstraksi harus dianggap sah tidak ada konsep yang lebih baik daripada lainnya. Sementara empirisme menyatakan bahwa semua pengetahuan diturunkan dari pengalaman indrawi, nativisme menyatakan bahwa sumber pengetahuan berasal dari sumber luar tetapi direkonstruksikan dari dalam diri seorang.
Konstruktivisme relatif berbeda dari idsealisme. Kaum idealis menyatakan bahwa pikiran dan konstruksinya adalah satu-satunya realitas, sedangkan konstruktivisme menyatakan bahawa kenyataan adalah apa yang dikonstruksi oleh pikiran seseorang.
Konstruktivisme tidak sejalan dengan pandangan obyektivisme yang beranggapan bahwa realitas itu ada, terlepas dari pengamat dan dapat diketahui/ditemukan melalui langkah-langkah sistematis menuju kenyataan dunia ini.
Dewasa ini konstruktivisme telah banyak mempengaruhi pendidikan di banyak negara. Konstruktivisme menjadi landasan bagi beberapa teoti belajar. Misalnya teori perubahan konsep, teori belajar bermakna dan teori skema.
Konstruktivisme maupun teori perubahan konsep menjelaskan bahwa pengertian yang dibentuk mahasiswa mungkin bebeda dari pengertian ilmuwan. Teori belajar bermakna ausubel juga sangat didasarkan atas konstruktivisme, keduanya menekankan pentingnya mahasiswa mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam sistem pengetahuan yang telah dimiliki. Serta keduanya sangat menekankan keaktifan mahasiswa dalam proses belajar.
BAB IV
PENGARUH KONSTRUKTIVISME
IV.1. Pengaruh Kontrusktivisme terhadap Peserta Didik
Dalam kontrusktivisme kegiatan belajar peserta didik adalah aktif menemukan sesuatu serta membangun sendiri pengetahuannya. Peserta didiklah yang bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Bagi peserta didik belajar merupakan pengembangan pemikiran dengan memnbuat kerangka pengertian yang berbeda.
Setiap peserta didik mempunyai cara yang cocok untuk mengkontruksi pengetahuannya. Hal inilah yang membuat perbedaan dari peserta didik yang satu dengan yang lainnya dalam mengkontruksi pengetahuannya. Dalam pengaruhnya dengan kontruksivisme, peserta didik dimungkinkan untuk mencoba bermacam-macam cara belajar yang cocok, serta bermacam-macam situasi dan metode belajar yang membantu pserta didik.
Pengaruh konstruktivisme terhadap peserta didik terlihat dalam kelompok belajarnya. Menurut von Glaserfeld (1989), dalam kelompok belajar, peserta didik dapat mengungkapkan perspektifnya dalam melihat persoalan dan hal yang akan dilakukan dengan persoalan itu.kelompok belajar melalui kesempatan mengungkapkan gagasan, mendengarkan pendapat orang lain, serta bersama-sama membangun pengertian, menjadi sangat penting dalam belajar, karena memiliki unsure yang berguna untuk menantang pemikiran peserta didik.
IV.2. Pengaruh Konstruktivisme terhadap Proses Pembelajaran
Pembelajaran dalam konstruktivisme adalah membantu seseorang berpikir secara benar dan membiarkannya berpikir sendiri (von Glaserfeld, 1989). Jika seseorang mempunyai cara berpikir yang baik, berarti cara berpikirnya dapat digunakan untuk menghadapi suatu fenomena baru, akan dapat menemukan pemecahan dalam menghadapi persoalan yang lain.
Dalam konstruktivisme ini, peranan pendidik adalah sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar peserta didik berjalan dengan lancar. Selain itu, pendidik diharapkan tidak pernah menganggap cara berpikir peserta didik sederhana. Pendidik perlu belajar mengerti cara berpikir peserta didik sehingga ia dapat membantu memodifikasinya.
Secara rigkas, pengaruh konstruktivisme membuat pendidik akan dapat menerima dan menghormati upaya-upaya peserta didik untuk membentuk suatu pengertian yang baru, sehingga dapat menciptakan berbagai kemungkinan untuk peaerta didik dalam berkreasi.
IV.3. Pengaruh Konstruktivisme terhadap Strategi Pembelajaran
Pembelajaran adalah suatu seni yang menuntut bukan hanya penguasaan teknik, meleinkan intuisi dari setiap pendidik. Menurut Driver dan Oldham dalam Mattews (1994) pembelajaran berlandaskan konstruktivisme memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a) Orientasi (pengembangan motivasi belajar)
b) Elisitasi (pengungkapan ide-ide secara jelas)
c) Restrukturisasi ide (klarifikasi, membangun, serta evaluasi ide-ide baru)
d) Penggunaan ide dalam banyak situasi
e) Review ide-ide yang berubah
Konstruktivisme menjadi landasan bagi pemanfaatan berbagai media dalam pembelajaran (Hlynka, 1998), karena seorang pendidik serta buku-buku literatur bukanlah satu-satunya sumber informasi. Dengan demikian, pembelajaran dapat terjadi di mana pun dan setiap saat melalui beragam media.
Filsafat konstruktivisme menjasi landasan bagi banyak strategi pembelajaran, terutama dalam student-centered learning yang berorientasi pada peserta didik. Dengan demikian, beberapa strategi pembelajaran konstruktivisme atau student-centered learning strategies adalah belajar aktif, belajar mandiri, belajar kooperatif dan kolaboratif, generative learning, dan model pembelajaran kognitif, antara lain problem based learning, dan cognitive strategies
.
BAB V
PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME
Berdasarkan konstruktivisme pendidik atau buku teks buka satu-satunya sumber informasi dalam pembelajaran. Peserta didik mempunyai akses terhadap beragam sumber informasi yang dapat digunakannya untuk belajar. Dengan demikian pembelajaran yang berlandaskan konstruktivisme tidak menyediakan satu-satunya jawaban/penjelas/teori apalagi makna yang benar. Ketika permasalahan masih sederhana mungkin akan mudah ditemukan satu jawaban yang benar. Namun dengan hilangnya sumber otoritas informasi yang tunggal, degan terbukanya akses terhadap beragam sumber informasi dan dengan bebasnya peserta didik memilih informasi yang dipelajarinya, akan satu jawaban yang benar tidak ada lagi. Akan ada banyak sekali altenratif jawaban terhadap suatu masalah yang kompleks
Konstruktivisme menjadi landasan bagi pemanfaatan beragam media dalam pembelajaran, karena pendidik dan informasi tercetak dalam ( buku) bukan erupakan satu-satunya sumber informasi. Pengalaman peserta didik tidak hanya diperoleh dari ruang kelas, tetapi juga di luar kelas. Dengan demikian pembelajara terjadi dimanapun dan setiap saat melalui beragam media.
Konstruktivisme juga mendorong untuk diakomodasikannya berbagi fenomena yang tidak memiliki landasan dasar teoritis maupun prinsip yang jelas. Fenomena trsebut menjadi anomali dalam berbagai bidang ilmu, tanpa dijelaskan. Anomaly ini bersamaan dengan fenomena-fenomena lain yang memiliki landasan teoritis maupun prinsip yang jelas. Peserta didik memiliki kebebasan untuk menjadi unik dan menginterpretasikan anomaly yang dialaminya.
5.1 Perbedaan Situasi Pembelajaran ( Dalam Kelas ) Berdasarkan Kontruktivisme Dan Pembelajaran Tradisional
Menurut Brooks & Brooks (1993) Perbedaan situasi pembelajaran ( dalam kelas ) berdasarkan kontruktivisme dan pembelajaran tradisional sebagai berikut :
Pembelajaran Tradisional Pembelajaran Konstruktivisme
Ruang lingkup pebelajaran disajikan secara terpisah, bagian perbagian dengan penekanan pada pencapaian ketrampilan dasar. Ruang lingkup pembelajaran disajikan secara utuh dengan penjelasan tentang keterkaitan antar bagian, dengan penekanan pada konsep-konsep utama
Kurikulum harus diikuti sappai habis. Pertanyaa peserta didik dan konstruksi jawaban peserta didik adalah penting
Kegiatan pembelajaran hanya berdasarkan buk teks yang sudah ditentukan. Kegiatan pembelajaran berlandaskan beragam sumber informasi primer dan materi-materi yang dapat dimanipulasi langsung oleh peserta didik
Peserta didik dilihat sebagai ember kosong tempat ditumpahkannya semua pengetahuan dari pendidik Peserta didik dilihat sebagai pemikir yang mampu menghasilkan teori-teori tentang dunia dan kehidupan.
Pendidik mengajar dan menyebarkan informasi keilmuan pada peserta didik Pendidik bersikap interaktif dalam pembelajaran, menjadi fasilitator dan mediator dari lingkungan bagi peserta didik dalam proses belajar
Pendidik selalu mencari jawaban yang benar untuk menvalidasi proses belajar peserta didik Pendidik mencoba mengerti persepsi peserta didik agar dapat melihat pola piker peserta didik dan apa yang sudah diperoleh peserta didik untuk pembelajaran selanjutnya.
Penilaian terhadap proses belajar peserta didik merupakan bagian terpisah dari pembelajaran, dan dilakukan hampir selalu dalam bentuk tes atau ujian. Penilaian terhadap proses belajar peserta didik merupakan bagian integral dalam pembelajaran, dilakukan melalui observasi pendidik terhadap hasil kerja peserta didik, melalui pameran karya peserta didik
Peserta didik harus selalu bekerja sendiri Lebih banyak peserta didik belajar dalam kelompok
5.2 Strategi Pembelajaran Konstruktivisme
Filsafat kontruktivisme menjadi landasan bagi banyak strategi pembelajaran. Mengutamakan keaktifan peserta didik dalam pengalaman belajar yang diperoleh. Peserta didik dan proses belajar peeta didik menjadi focus utama, sementara pendidik berperan sebagai fasilitator dan bersama-sama pedidik juga terlibat dalam proses belajar, proses konstruksi pengtahuan.
Beberapa strategi pembelajaran konstruktivisme adalah belajar aktif, belajar mandiri, belajar kooperatif dan kolaboratif generative learning dan model pembelajaran kognitif antara lain problem based learning dan cognitive strategies.
5.3 Belajar Aktif Dalam Kontruktivisme
Belajar aktif merupakan suatu pendekatan dalam pengelolaan system pembelajaran melalui cara-cara belajar yang aktif menuju belajar yang mandiri. Kemampuan belajar mandiri merupakan tujuan akhir dari belajar aktif.
Peran serta peserta didik dan pendidik dalam konteks belajar aktif enjadi sangat penting. Pendidik berperan aktif sebagai fasilitator yang membantu memudahkan peserta didik belajar, sebagai narasumber yang mampu mengundang pemikiran dan daya kreasi peserta didik. Peserta didik juga diharapkan mampu memodifikasi pengetahuan yang baru diterima dengan pengalaman dan pengetahuan yang pernah diterima selain itu peserta didik dibina untuk memiliki ketrampilan agar dapat menerapkan dan memanfaatkan pengetahuan yang pernah diterimanya pada hal-hal atau masalah-masalah baru yang dihadapinya. Dengan demikian peserta didik mampu belajar mandiri
Belajar aktif menuntut keaktifan pendidik dan peserta didik. Belajar aktif juga megisyaratkan terjadiya interaksi yang tinggi antara pendidik dan peserta didik. Oleh karena itu pendidik perlu mengembangkan berbagai kegiatan belajar yang dapat melibatkan peserta didik secara aktif dalam proses belajar berdasarkan tujuan instruksional yang jelas, kegiatan yang menampang kreatifitas.
Strategi yang dapat digunakan pendidik untuk mencapai tujuan antara lain:
1. refleksi
2. pertanyaan peserta didik
3. rangkuman
4. pemetaan kognitif
Belajar Aktif memperkenalkan cara pengelolaan kelas yang beragam, tidak hanya berbentuk kegiatan belajar klasikal saja tetapi bentuk kegiatan belajar lain seperti kegiatan belajar berkelompok, kegiatan belajar berpasangan , kegiatan belajar perorangan. Dan masing-masing benuk kegiatan tersebut mempunyai keungggulan dan kelemahan sendiri-sendiri.
Belajar aktif memberi kesempatan pada setiap mahasiswa untuk berkembang secara optimal sesuai denan kemampuannya. Pada dasarnya setiap pesreta didik mempunyai karakteristik dan perilaku yang berbeda-beda. Dalam belajar aktif pendidik perlu memperhatikan perbedaan individu tersebut sehingga peserta didik dapat mencapai ketuntasan belajar dan pegembangan diri yang optimal.
5.4 Belajar Mandiri
Belajar mandiri didefinisikan sebagai usaha individu untuk mencapai suatu kompetensi akademis (Kouzma, Belle, Williams, 1978). Ketrampilamn seperti ini dapat diterapkan dalam berbagai situasi, tidak terbatas pada satu mat kuliah atau di perguruan tinggi saja.
Belajar mandiri memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menentukan tujuan belajarnya, merencanakan proses belajarnya, menggunakan sumber-sumber belajar yang dipilihnya, membuat keputusan-keputusan akademis serta melakukan kegiatan-kegiatan yang dipilihnya untuk mencapai tujuan belajarnya (Brookfields, 1984).
Adapun kelebihan dari belajar mandiri adalah peserta didik mempunyai tanggung jawab yang besar atas proses belajarnya dan juga peserta didik mendapatkan kepuasan belajar melalui tugas-tugas yang diselesaikannya. Selain itu dalam belajar mandiri, peserta didik mendapat pengalaman dan keterampilan dalam hal penelusuran literature, penelitian, analisis dan pemecahan masalah.
Walaupun secara umum belajar mandiri sangat menguntungkan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penerapannya. Pertama, guru harus mampu merencanakan kegiatan intruksionalnya dengan baik dan teliti. Perencanaan kegiatan tersebut harus dilakukan sebelum kegiatan belajar dimulai, bukan pada saat kegiatan belajar berlangsung.
Kedua, perencanaan kegiatan intruksional dan tugas-tugasnya harus dulakukan berdasarkan atas kemampuan dan karakteristik awal peserta didik. Guru juga perlu memperhatikan bahwa untuk belajar mandiri, peserta didik diharapkan mempunyai keterampilan dalam memanfaatkan apa yang telah ada.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar