Yang terngiang... menggugah dan hidup.
573 hari aku menikmati segala kejenuhan Jember ini.
Lama sekali ku merindukan suara itu… senyum ceria itu.
Sejak kutanggalkan seragam putih biru itu, belum pernah sekalipun ku bertemu dengan jiwa pemilik suara dan senyum itu di alam nyata.
Yach… jauh sebelum ku tanggalkan seragam putih biru itu, jauh sebelum ku bersiap menghadapi hari tanpa ampun itu… jiwa itu t’lah lebih dulu meninggalkan gedung bercat krem yang selalu tampak bergengsi itu.
“Berarti kamu orang berprinsip!” aku masih mengingat dengan jelas, apa yang pernah diucapkannya padaku suatu sore. Aku juga masih ingat bahwa aku hanya bisa menjawab apa yang dikatakannya itu dengan air mata. Ahh… aku terlalu cengeng, untuk orang sekuat dia. Di depannya, aku bagai seberkas debu yang siap terhempas, hanya menunggu angin berhembus saja. Sosok itu begitu kuat, hingga kutanya Tuhan kenapa menciptanya sekokoh itu.
“Aku mendekat dengan berjalan, dia mendekat dengan berlari. Siapakah dia??” tanyanya padaku suatu pagi, sesaat setelah ku mengikuti rangkaian kegiatan Ramadhan di sekolah itu. Aku diam sejenak, aku tak mau salah menjawab, paling tidak… lebih baik aku diam bila tak mampu menjawab dengan logis. Dia bukan sembarang orang yang bisa ditaklukkan dengan setumpuk argument. Dia orang yang berbeda. Dia bukan ketua OSIS atau mantan ketua OSIS yang bisa saja ditaklukkan dengan sekali serang kata.
“Tuhan!” jawabku mantap…beberapa menit kemudian.
“Kamu yakin?” tanyanya sambil beralih pandang dari sebuah buku yang dibacanya ke arahku.
Aku mengangguk mantap. Hanya keyakinan yang membuat aku berani menjawab pertanyaannya. Teori… ahhh, tau apa aku soal teori daripada dia? Dia lebih tau dari aku. Lebih banyak tau. Andai saja dia bukan manusia yang sama sepertiku, mungkin aku sudah percaya bahwa dia juga tau kapan kematianku.
Dia menatapku penuh selidik. Aku tanggap. Dia memintaku berargumen.
“Aku selalu kalah cepat untuk merangkul Tuhan, sementara Dia tidak pernah melepaskanku dalam dekapan-Nya.” Aku tersenyum. Apa lagi yang bisa ku katakan? Tidak perlu mengulang dan menambah kalimat kalau artinya tetep sama.
Kulihat dia tersenyum, senyum yang selalu aku rindukan. Dia mengangguk dan mengacak rambutku. Upss!!! Maksudku jilbabku, kebetulan masih mengikuti kegiatan Ramadhan, aku mengenakan jilbab.
Lega rasanya, ku yakin jawabanku benar! Sebagai bukti keyakinanku, dia menjelaskannya panjang lebar, lebih detail daripada jawabanku. Dan satu hal, “tidak pernah ada cinta lain yang lebih besar, selain cinta Tuhan pada kita!”, katanya.
Pertanyaan kedua, masih dalam kesempatan dan tempat yang sama, “Bertahanlah jika itu benar. Tapi terimalah kebenaran walau itu pahit. Bisa kamu deskripsikan??” dia nggak pernah kehabisan pikiran. Tuhan, hidup seperti apakah yang mencetaknya menjadi orang seperti dia? Tunjukkan padaku, aku juga ingin menikmatinya.
Deskripsi? Aduh, ini bukan soal ngomong, tapi soal kepahaman. Ngomong boleh aja, tapi tanggung jawab dari sebuah omongan?? Aku memberanikan diri menjawab, “keyakinan membentuk sebuah kekuatan dalam diri manusia, membuatnya bertahan dan harus bertahan, demi suatu keyakinan, apapun yang diyakininya, kebenaran atau bahkan kesalahan. Tapi satu hal, ketika sesuatu yang kita yakini itu salah, manusia yang baik adalah manusia yang menerima, walau itu pahit.” Upps! Aku hanya bisa menjawab dengan kata-kata itu. Tak ada lagi uneg-uneg di otakku. Semua udah kukeluarkan.
Lagi-lagi dia tersenyum. “Manusia tidak boleh egois. Intinya hanya itu!”
Bel berbunyi! Diam-diam aku merasa sebel. Setidaknya aku sedang konsentrasi penuh untuk mendengar semua omongannya. Tapi waktu…. Ahhh, lagi-lagi waktu yang membuatku harus meninggalkan ruangan itu.
Waktu memang begitu cepat berlalu, semua bisa berubah. Tapi satu hal, tak ada yang membuatku merubah posisinya di hatiku. Masih ku ingat semuanya.
“Kenapa harus ragu? Pemimpin itu dipilih karena dia memiliki kelebihan daripada lainnya. Dia mampu memberikan pengaruh dan melindungi orang-orang di sekitarnya.” Katanya, saat aku tertunduk lesu menghadapi kenyataan nilai tes kepemimpinan yang kuikuti dalam rangkaian seleksi pengurus OSIS baru, berada di urutan tertinggi. “Kamu tidak mendapatkannya secara kebetulan, semua karena apa yang kamu lakukan.” Aku tau, apa yang diucapkannya adalah benar. Dan semua yang diucapkannya adalah untuk memberiku semangat untuk berjuang. Bukan menyombongkan diri, aku memang bukan orang yang suka menelantarkan tanggung jawab. Semua tugas, aku berupaya menyelesaikannya atau menolak jika dirasa tidak sanggup melakukannya. Itu juga yang ku lakukan dalam menyelesaikan semua tanggung jawab kepengurusanku di OSIS. Yach..dia benar, tidak ada yang kebetulan. Manusia akan mendapatkan hasil dari setiap apa yang dilakukannya, setiap bagaimana yang dipikirkannya. Tapi, bukan untuk itu aku melakukan semuanya. Aku hanya ingin meyakini diriku, bahwa aku hidup. Dan hidup adalah berbuat.
Dengan segenap perhatian, ku dengarkan baik-baik setiap kata yang diucapkannya padaku. Yach… tidak ada penyerahan. “Hidup harus tetap dilanjutkan. Hidup tidak boleh egois. Ada banyak orang di sekitar kita, yang juga berhak hidup dan membutuhkan kita menjadi tangan-tangan panjangnya_bukan untuk mencuri, tapi untuk tiba di garis finish. Hidup harus tetap dihadapi. Ada banyak orang_entah di belahan bumi mana_sedang berjuang mempertahankan hidupnya, berjuang sekuat tenaga, bahkan sempat merelakan beberapa detik hingga jam hidupnya untuk melakukan suatu upaya mempertahankan hidup, kenapa kamu yang nggak perlu mengorbankan apapun harus menyerah??? Waktu?? Ah, manusia selalu berpikir jika waktunya habis untuk orang lain, tapi pernahkah ia berpikir bagaimana dengan orang lain yang waktunya harus habis untuk dirinya? Hidup ini untuk orang lain!! Jangan egois dengan hanya memikirkan diri sendiri.”
Yach… dia benar! Lagi-lagi aku harus mengakui bahwa aku terlalu banyak berpikir tentang keuntungan terhadap diriku sendiri. Apa yang ku alami beberapa bulan sebelumnya memang sempat membuatku berpikir ulang untuk tetap aktif di OSIS di kepengurusan yang baru. Aku sudah cukup menelan kegagalan akademik, nilai raporku pernah turun drastis. Bahkan aku pernah menolak menjadi salah satu peserta olimpiade biologi hanya karena takut tidak konsentrasi. Tapi, akhirnya aku berpikir bahwa itu bukan kegagalan, itu adalah sebuah proses untuk mewujudkan tanggung jawab. Untuk apa mengejar prestise dengan menjadi peserta suatu even bergengsi itu jika harus mengorbankan semua kegiatan yang pernah membuatku nyaman dan senang, OSIS, Jurnalistik, KIR, Teater dan PMR. Semua nggak mungkin aku tinggalkan. Aku terlanjur menikmatinya.
Aku pun percaya sarannya, aku melanjutkan untuk berjuang, di jalan yang membuatku nyaman, selain di jalan tanggung jawab awalku, sekolah. Aku mengikuti sarannya, aku kembali ke OSIS. Tentu saja, tanpa minat menjadi ketua, sekalipun aku akhirnya dicalonkan.
Tapi, “lakukan apa yang menurutmu benar!”
Aku menghancurkan kampanyeku sendiri dengan misi Mading Wajib, yach…aku tergila-gila untuk mengembangkan Mading sekolahku lagi. Aku tidak mau dianggap pecundang, lebih baik aku kalah di medan laga daripada menyerah sebelum laga. Bukankah pahlawan ditetapkan sebelum peperangan?? (Yach… sekalipun kekalahan itu sendiri aku yang menciptakan). Itu yang aku lakukan saat kampanye calon ketua OSIS. Aku tidak ingin menjadi seorang ketua OSIS, tapi aku tentu saja tidak bisa mengatakannya, aku tidak ingin mereka yang mendukungku kecewa. (sekalipun mereka akhirnya benar-benar kecewa, bukan karena kegagalanku, tapi karena aku menyebabkan kegagalan itu datang). Aku harus membuktikan, bahwa aku berkuasa atas diriku. Aku bisa melakukan apa pun yang kuanggap benar. Itu saja!!
Tidak seperti yang lain, dia diam saja. Aku yakin dia sudah membaca pikiranku dan tau alasan kenapa aku melakukan kebodohan itu, yang membuat gendering perang dengan ketua OSIS terpilih akhirnya ditabuh. Perang itu bukan karena kegagalanku dan juga bukan karena kemenangan Ketos baru tersebut. Tapi justru kekalahanku membawa keberuntungan tersendiri, aku semakin dekat dengan senior dan juga juniorku. Tentu saja ini bertolak belakang dengan ketua OSIS terpilih.
Kembali ke memoar tentang dia. “Dimana posisi seorang penjudi?” Ucapnya padaku suatu hari, waktu itu ku dan dia sedang sibuk-sibuknya menyiapkan Gebyar Seni di sekolah kami.
Aku tidak bisa mejawab dengan rentetan kata-kata. “Tidak adanya standar baik dan buruk juga berlaku pada penjudi. Menurutku, salah atau benar penjudi atau berjudi tergantung dari tujuannya. Jadi, kadang posisi judi berada pada posisi benar, kadang juga bisa salah.”
“Penjudi itu berada pada posisi netral!” Singkat!
Aku diam saja. Selain capek karena seharian ngurusi banyak hal, aku juga nggak tau harus ngomomg apa lagi. Aku selalu merasa betah dengan semua yang diomongkannya. Semuanya mampu menyentuh hati.
Dimana pun, terutama saat aku sedang suntuk, sesuatu yang sering membangunkan semangatku adalah apa yang pernah diucapkannya beberapa tahun silam, “manusia tidak diciptakan untuk meragukan diri!”
Sering aku merasa beitu merindukannya, sering aku merasa ingin sekali mendengarkan semua serpihan embun nasihatnya. Tapi jarak dan waktu jualah yang tidak memungkinkan. Aku sibuk dengan kuliah dan serangkaian kegiatan yang kuyakini membuatku betah di Jember ini, sementara dia pasti sangat sibuk. Ku dengar dari beberapa temen maupun seniorku, katanya dia sekarang sibuk berbisnis.
Aku bersyukur, kemarin sempat mendengar suara dan tawanya lewat telepon. Aku sengaja meneleponnya. Aku ingin tau kabarnya. Untunglah, sekalipun sebenarnya aku telah ikut menambahi kesibukannya, aku bisa berbicara kurang lebih 18 menit. Sangat singkat untuk oeang yang ketiban rindu sangat berat sepertiku.
Sangat singkat memang, tapi aku sudah mendapatkan banyak hal dari percakapan singkat itu. Setidaknya, nol koma sekian persen rinduku bisa terobati. Lebih dari itu aku juga mendapatkan pemahaman lebih banyak tentang hidup, profesionalisme, kejujuran, kesabaran, loyalitas dan juga cinta kasih. Itulah Mas Nuradilah! Hidupnya selalu penuh dengan semangat, keberanian dan ketekunan. Tidak pernah ada penyerahan. Dialah kakakku sejak SMA dulu. Benar apa yang dikatakan oleh orang tuaku, “kamu memang tidak diciptakan lahir dengan memiliki saudara kandung, tapi di luar sana Tuhan telah menciptakan saudara dimanapun kamu berpijak di bumi ini.” Dan Mas Nur salah satunya.
“Ngapain baca buku, bacalah dunia! Lebih luas, lebih bermakna.”, Salah satu ucapan Mas Nur dari seberang sana, tentu saja dengan senyum tawa ciri khasnya.
“Iya, Mas. Tapi masih terlalu banyak abjad dan kata yang belum bisa kueja dengan baik dan benar di dunia ini.” Ucapku dengan mata berkaca. Tentu saja Mas Nur tidak mungkin melihat arak-arakan air mata yang mulai mengembang. Tapi aku yakin dia disana sedang tersenyum dengan begitu tulusnya.
Mas Nur, maafin Senja. Senja tau, Mas tidak pernah ingin melihat Senja yang selemah ini. Senja yakin, Mas pasti kecewa jika tau bahwa Senja telah banyak melakukan penyerahan.
Tapi satu hal, Mas Nur adalah kakak yang tak tergantikan. Sekarang, Senja akan kembali bangkit. Hidup harus tetap diperjuangkan.
Manusia tidak diciptakan untuk meragukan diri.
Mas Nur... kakak yang tak tergantikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar