semburat jingga

semburat jingga
tenggelam.... kembali

Jumat, 19 Maret 2010

Makalah: ilmu Pengetahuan Lingkungan


PROBLEMA PENDUDUK INDONESIA DAN SOLUSINYA
disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Pengetahuan Lingkungan
pada semester II

Disusun Oleh :
1. Luh Titis Ayu A. (080210193020)
2. Yunita Musyfika (080210193024)
3. Dewi Yulia R. (080210193031)
4. Dwi Putri N. (080210193044)
5. Tomi Utomo (080210193043)
6. Kedawung Senja (080210193047)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
JURUSAN PENDIDIKAN MIPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENGETAHUAN
UNIVERSITAS JEMBER
2009


BAB I PENDAHULUAN

1.1 Pengertian
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab X : Warga negara dan penduduk, pengertian penduduk Indonesia dijelaskan dalam pasal 26:
• Pasal 26 ayat (1) : Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.
• Pasal 26 ayat (2): Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia
Penduduk atau warga suatu negara atau daerah bisa didefinisikan menjadi dua:
• Orang yang tinggal di daerah tersebut
• Orang yang secara hukum berhak tinggal di daerah tersebut. Dengan kata lain orang yang mempunyai surat resmi untuk tinggal di situ. Misalkan bukti kewarganegaraan, tetapi memilih tinggal di daerah lain.
Dalam sosiologi, penduduk adalah kumpulan manusia yang menempati wilayah geografi dan ruang tertentu.

1.2 Aspek-Aspek Kependudukan
Kependudukan atau demografi adalah ilmu yang mempelajari dinamika kependudukan manusia. Meliputi di dalamnya ukuran, struktur, dan distribusi penduduk, serta bagaimana jumlah penduduk berubah setiap waktu akibat kelahiran, kematian, migrasi, serta penuaan. Analisis kependudukan dapat merujuk masyarakat secara keseluruhan atau kelompok tertentu yang didasarkan kriteria seperti pendidikan, kewarganegaraan, agama, atau etnisitas tertentu. Kependudukan meliputi aspek-aspek berikut ini:
1.2.1. Aspek agama dan kepercayaan
Enam agama besar yang paling banyak dianut di Indonesia, yaitu: agama Islam, Kristen Protestan dan Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Sebelumnya, pemerintah Indonesia pernah melarang pemeluk Konghucu melaksanakan agamanya secara terbuka. Namun, melalui Keppress No. 6/2000, Presiden Abdurrahman Wahid mencabut larangan tersebut. Tetapi sampai kini masih banyak penganut ajaran agama Konghucu yang mengalami diskriminasi dari pejabat-pejabat pemerintah. Ada juga penganut agama Yahudi, Saintologi, Raelianisme dan lain-lainnya, meskipun jumlahnya termasuk sedikit.
Menurut Penetapan Presiden (Penpres) No.1/PNPS/1965 junto Undang-undang No.5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan agama dalam penjelasannya pasal demi pasal dijelaskan bahwa Agama-agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia adalah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Meskipun demikian bukan berarti agama-agama dan kepercayaan lain tidak boleh tumbuh dan berkembang di Indonesia. Bahkan pemerintah berkewajiban mendorong dan membantu perkembangan agama-agama tersebut.
Sebenarnya tidak ada istilah agama yang diakui dan tidak diakui atau agama resmi dan tidak resmi di Indonesia, kesalahan persepsi ini terjadi karena adanya SK (Surat Keputusan) Menteri dalam negeri pada tahun 1974 tentang pengisian kolom agama pada KTP yang hanya menyatakan kelima agama tersebut. Tetapi SK (Surat Keputusan) tersebut telah dianulir pada masa Presiden Abdurrahman Wahid karena dianggap bertentangan dengan Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 tentang Kebebasan beragama dan Hak Asasi Manusia.
Selain itu, pada masa pemerintahan Orde Baru juga dikenal Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang ditujukan kepada sebagian orang yang percaya akan keberadaan Tuhan, tetapi bukan pemeluk salah satu dari agama mayoritas.

1.2.2. Aspek sosial budaya
Aspek sosial budaya masyarakat Indonesia meliputi sistem mata pencaharian penduduk, kesenian, bahasa, suku, adat dan kepercayaan. Indonesia adalah negara majemuk, memiliki penduduk yang memiliki keragaman budaya, adat maupun bahasanya.
Dalam susunan masyarakat Indonesia, sebenarnya tidak dibeda-bedakan menurut strata sosialnya. Semua penduduk dianggap memiliki hak dan kewajiban yang sama yang diatur dalam UUD 1945 dan Pancasila sebagai pedoman tata hidup bermasyarakat di Indonesia.

1.2.3. Aspek ekonomi
Sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi yang berorientasi kepada Ketuhanan Yang Maha Esa (berlakunya etik dan moral agama, bukan materialisme); Kemanusiaan yang adil dan beradab (tidak mengenal pemerasan atau eksploitasi); Persatuan Indonesia (berlakunya kebersamaan, asas kekeluargaan, sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi dalam ekonomi); Kerakyatan (mengutamakan kehidupan ekonomi rakyuat dan hajat hidup orang banyak); serta Keadilan Sosial (persamaan/emansipasi, kemakmuran masyarakat yang utama bukan kemakmuran orang-seorang). Dari butir-butir di atas, keadilan menjadi sangat utama di dalam sistem ekonomi Indonesia. Keadilan merupakan titik-tolak, proses dan tujuan sekaligus. Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal utama bertumpunya sistem ekonomi Indonesia yang berdasar Pancasila, dengan kelengkapannya, yaitu Pasal-pasal 18, 23, 27 (ayat 2) dan 34 UUD 1945.
Berdasarkan TAP MPRS XXIII/1966, ditetapkanlah butir-butir Demokrasi Ekonomi (kemudian menjadi ketentuan dalam GBHN 1973, 1978, 1983, 1988), yang meliputi penegasan berlakunya Pasal-Pasal 33, 34, 27 (ayat 2), 23 dan butir-butir yang berasal dari Pasal-Pasal UUDS tentang hak milik yuang berfungsi sosial dan kebebasan memilih jenis pekerjaan. Dalam GBHN 1993 butir-butir Demokrasi Ekonomi ditambah dengan unsur Pasal 18 UUD 1945. Dalam GBHN 1998 dan GBHN 1999, butir-butir Demokrasi Ekonomi tidak disebut lagi dan diperkirakan dikembalikan ke dalam Pasal-Pasal asli UUD 1945.
Landasan normatif-imperatif ini mengandung tuntunan etik dan moral luhur, yang menempatkan rakyat pada posisi mulianya, rakyat sebagai pemegang kedaulatan, rakyat sebagai ummat yang dimuliakan Tuhan, yang hidup dalam persaudaraan satu sama lain, saling tolong-menolong dan bergotong-royong.

1.2.4. Aspek hankam
Sistem Hankam negara Indonesia dalam perjalanannya telah mengalami kemajuan dalam 10 tahun terakhir. Sampai saat ini sudah ada produk-produk pertahanan yang sangat reformatif seperti Undang-Undang no. 3 tahun 2002 tentang pertahanan negara

1.2.5. Aspek politik
Indonesia adalah negara republik berdasarkan UUD 1945 dengan ciri-ciri pemisahan peranan lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sistem pemerintahan Indonesia sering disebut sebagai "sistem pemerintahan presidensial dengan sifat parlementer".
Proses reformasi dalam kancah politik Indonesia telah berjalan sejak 1999 dan telah menghasilkan banyak perubahan penting.Di antaranya adalah pengurangan masa jabatan menjadi 2 kali masa bakti dengan masing-masing masa bakti selama 5 tahun untuk presiden dan wakil presiden, serta dilaksanakannya langkah-langkah untuk memeriksa institusi bermasalah dan keuangan negara. Lembaga negara tertinggi adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang fungsinya meliputi: memilih presiden dan wakil presiden (sejak 2004 presiden dipilih langsung oleh rakyat), menciptakan Garis Besar Haluan Negara (GBHN), dan mengesahkan undang-undang. MPR beranggotakan 695 orang yang meliputi seluruh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang beranggotakan 550 orang ditambah 130 orang dari perwakilan daerah yang dipilih dari masing-masing DPRD tiap-tiap provinsi serta 65 anggota yang ditunjuk dari berbagai golongan profesi.
DPR merupakan institusi legislatif, mencakup 462 anggota yang terpilih melalui sistem perwakilan distrik maupun proporsional (campuran). Sebelum pemilu 2004, TNI dan Polri memiliki perwakilan di DPR dan perwakilannya di MPR akan berakhir pada tahun 2009. Perwakilan kelompok golongan di MPR telah ditiadakan pada 2004. Dominasi militer di dalam pemerintahan daerah perlahan-lahan menghilang setelah peraturan yang baru melarang anggota militer yang masih aktif untuk memasuki dunia politik.
1.2.6. Aspek hukum
Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.


BAB II PENDUDUK DAN PERMASALAHANNYA

2.1 Penduduk Indonesia
Indonesia adalah negara di Asia Tenggara, terletak di garis khatulistiwa dan berada di antara benua Asia dan Australia serta antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Karena letaknya yang berada di antara dua benua dan dua samudra, indonesisia disebut juga sebagai Nusantara (Kepulauan Antara). Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari 17.508 pulau. Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar keempat di dunia dengan populasi sebesar 222 juta jiwa pada tahun 2006 dan merupakan negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia, meskipun secara resmi bukanlah negara Islam.
Indonesia menjadi wilayah perdagangan penting setidaknya sejak sejak abad ke-7, yaitu ketika Kerajaan Sriwijaya menjalin hubungan agama dan perdagangan dengan Tiongkok dan India. Kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha telah tumbuh pada awal abad Masehi, diikuti para pedagang yang membawa agama Islam, serta berbagai kekuatan Eropa yang saling bertempur untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah Maluku semasa era penjelajahan samudera. Setelah sekitar 350 tahun penjajahan Belanda, Indonesia menyatakan kemerdekaannya di akhir Perang Dunia II. Selanjutnya Indonesia mendapat tantangan dari bencana alam, korupsi, separatisme, proses demokratisasi dan periode perubahan ekonomi yang pesat.
Dari Sabang sampai Merauke, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk dengan beraneka ragam suku bangsa, bahasa dan agama. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 dan Pancasila dengan sila pertamanya menjamin kebebasan memeluk dan menjalankan agama. Sebanyak 95% penduduk Indonesia adalah bangsa Melayu, dan terdapat juga kelompok-kelompok suku Melanesia, Polinesia, dan Mikronesia terutama di Indonesia bagian Timur. Banyak penduduk Indonesia yang menyatakan dirinya sebagai bagian dari kelompok suku yang lebih spesifik, yang dibagi menurut bahasa dan asal daerah, misalnya Jawa, Sunda atau Batak.
Selain itu juga ada penduduk pendatang yang jumlahnya minoritas diantaranya adalah etnis Tionghoa, India, dan Arab. Mereka sudah lama datang ke nusantara dengan jalur perdagangan sejak abad ke 8 SM dan menetap menjadi bagian dari Nusantara. Di Indonesia terdapat sekitar 4 juta populasi etnis Tionghoa. Angka ini berbeda-beda karena hanya pada tahun 1930-an terakhir kalinya pemerintah melakukan sensus dengan menggolong-golongkan masyarakat Indonesia ke dalam suku bangsa dan keturunannya.
Ada lima agama yang banyak dinut oleh masyarakat Indonesia, yaitus Islam, Katholik, Kristen, Hindu dan Buddha. Islam adalah agama mayoritas yang dipeluk oleh sekitar 85,2% penduduk Indonesia, yang menjadikan Indonesia negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia. Sisanya beragama Protestan (8,9%), Katolik (3%), Hindu (1,8%), Buddha (0,8%), dan lain-lain (0,3%). Selain agama-agama tersebut, pemerintah Indonesia juga secara resmi mengakui Konghucu.
Kebanyakan penduduk Indonesia bertutur dalam bahasa daerah sebagai bahasa ibu, namun bahasa resmi Indonesia, yaitu bahasa Indonesia, diajarkan di seluruh sekolah-sekolah di negara ini dan dikuasai oleh hampir seluruh penduduk Indonesia.
Penduduk Indonesia berdasarkan sensus penduduk 1990 berjumlah 179,2 juta jiwa, sedangkan menurut sensus penduduk tahun 2000, Indonesia memiliki populasi sekitar 206 juta, dan diperkirakan pada tahun 2006 berpenduduk 222 juta. Dari jumlah tersebut, 130 juta (lebih dari 50%) tinggal di Pulau Jawa yang merupakan pulau berpenduduk terbanyak sekaligus pulau dimana ibukota Jakarta berada. Selain itu, sejak sensus penduduk tahun 1961, piramida penduduk Indonesia berbentuk limas atau ekspansif. Artinya pada periode tersebut, jumlah penduduk usia muda lebih banyak daripada penduduk usia tua.
Namun demikian, Lembaga Demografi Universitas Indonesia memperkirakan jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 273 juta pada tahun 2025 dengan pertumbuhan penduduk di bawah 1,5 persen. Perkiraan tersebut merupakan proyeksi optimis dari serangkaian survei yang telah dilakukan bahwa pertumbuhan penduduk Indonesia setiap tahunnya akan terus mengalami penurunan. Perkiraan pertumbuhan penduduk yang terus menurun ini didasarkan pada Survey Kependudukan dan Demografi Indonesia (SKDI) yang memperlihatkan semakin rendahnya tingkat kelahiran serta semakin meningkatnya masyarakat yang ikut serta dalam program KB. SKDI tahun 1997 menunjukan angka fertilitas total (angka kelahiran dari ibu di usia produktif pertahun) mencapai 2,78 per ibu. Pada tahun 2000 telah menurun menjadi 2,3 per ibu dan menurun lagi menjadi 2,2 pada tahun 2006. Sedangkan untuk angka peserta KB justru meningkat dari sekitar 50 persen pada tahun 1997 meningkat menjadi 60 persen pada tahun 2003.
Para peserta KB yang terus meningkat meskipun sejak krisis 1997 program ini karena telah terjadinya pelembagaan KB dalam masyarakat sebagai akibat masyarakat yang semakin menyadari pentingnya keluarga kecil sejahtera.
2.2 Permasalahan Penduduk Indonesia
Masalah-masalah kependudukan dipelajari dalam ilmu Demografi. Berbagai aspek perilaku menusia dipelajari dalam sosiologi, ekonomi, dan geografi. Demografi banyak digunakan dalam pemasaran, yang berhubungan erat dengan unit-unit ekonmi, seperti pengecer hingga pelanggan potensial.
Permasalahan penduduk di Indonesia terjadi sebagai akibat situasi demografis sebelum tahun 1970-an. Permasalahan pen¬duduk di Indonesia terutama menyangkut dengan jumlah penduduk terbesar urutan kelima di dunia. Tingkat fertilitas yang tinggi, pertumbuban penduduk yang cepat dengan struktur muda, dan persebaran penduduk yang tidak merata.
Masalah kependudukan dapat ditimbulkan oleh penduduk asli maupun penduduk pendatang. Permasalahan penduduk Indonesia pada dasarnya dapat dikategorikan dalam dua permasalahan utama, yaitu jumlah dan pertumbuhan penduduk yang tinggi dan persebaran jumlah penduduk yang tidak merata. Kedua permasalahan tersebut akan memicu permasalahan lain di berbagai bidang kehidupan.
2.2.1. Permasalahan penduduk di bidang kesehatan
Akhir-akhir ini di Indonesia terdapat beberapa masalah kesehatan penduduk yang masih perlu mendapat perhatian secara sungguh-sungguh dari semua pihak antara lain: anemia pada ibu hamil, kekurangan kalori dan protein pada bayi dan anak-anak, terutama di daerah endemic, kekurangan vitamin A pada anak, anemia pada kelompok mahasiswa, anak-anak usia sekolah, serta bagaimana mempertahankan dan meningkatkan cakupan imunisasi.
Permasalahan tersebut harus ditangani secara sungguh-sungguh karena dampaknya akan mempengaruhi kualitas bahan baku sumber daya manusia Indonesia di masa yang akan datang. Perubahan masalah kesehatan ditandai dengan terjadinya berbagai macam transisi kesehatan berupa transisi demografi, transisi epidemiologi, transisi gizi dan transisi perilaku. Transisi kesehatan ini pada dasarnya telah menciptakan beban ganda (double burden) masalah kesehatan.
1. Transisi demografi, misalnya mendorong peningkatan usia harapan hidup yang meningkatkan proporsi kelompok usia lanjut sementara masalah bayi dan BALITA tetap menggantung.
2. Transisi epidemiologi, menyebabkan beban ganda atas penyakit menular yang belum pupus ditambah dengan penyakit tidak menular yang meningkat dengan drastis.
3. Transisi gizi, ditandai dengan gizi kurang dibarengi dengan gizi lebih.
4. Transisi perilaku, membawa masyarakat beralih dari perilaku tradisional menjadi modern yang cenderung membawa resiko.
Masalah kesehatan tidak hanya ditandai dengan keberadaan penyakit, tetapi gangguan kesehatan yang ditandai dengan adanya perasaan terganggu fisik, mental dan spiritual. Gangguan pada lingkungan juga merupakan masalah kesehatan karena dapat memberikan gangguan kesehatan atau sakit. Di negara kita mereka yang mempunyai penyakit diperkirakan 15% sedangkan yang merasa sehat atau tidak sakit adalah selebihnya atau 85%. Selama ini nampak bahwa perhatian yang lebih besar ditujukan kepada mereka yang sakit. Sedangkan mereka yang berada di antara sehat dan sakit tidak banyak mendapat upaya promosi. Untuk itu, dalam penyusunan prioritas anggaran, peletakan perhatian dan biaya sebesar 85 % seharusnya diberikan kepada 85% masyarakat sehat yang perlu mendapatkan upaya promosi kesehatan.
Dengan adanya tantangan seperti tersebut di atas maka diperlukan suatu perubahan paradigma dan konsep pembangunan kesehatan.

2.2.2. Permasalahan penduduk di bidang pendidikan
Kualitas pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP). Hal ini berarti, ada something wrong (masalah) dalam sistem pendidikan Indonesia. Ditinjau secara perspektif ideologis (prinsip) dan perspektif teknis (praktis), berbagai masalah itu dapat dikategorikan dalam 2 masalah yaitu :
a. Masalah mendasar
Merupakan kekeliruan paradigma pendidikan yang mendasari keseluruhan penyelenggaran sistem pendidikan.
Jarang ada orang mau mengakui dengan jujur, sistem pendidikan kita adalah sistem yang sekular-materialistik. Biasanya yang dijadikan argumentasi, adalah UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 4 ayat 1 yang berbunyi, "Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air."
Sesungguhnya diakui atau tidak, sistem pendidikan kita adalah sistem pendidikan yang sekular-materialistik. Hal ini dapat dibuktikan antara lain pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi: Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, keagaman, dan khusus.
Hal ini juga tampak pada BAB X pasal 37 UU Sisdiknas tentang ketentuan kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang mewajibkan memuat sepuluh bidang mata pelajaran dengan pendidikan agama yang tidak proposional dan tidak dijadikan landasan bagi bidang pelajaran yang lainnya.
Ini jelas tidak akan mampu mewujudkan anak didik yang sesuai dengan tujuan dari pendidikan nasional sendiri, yaitu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Kacaunya kurikulum ini tentu saja berawal dari asasnya yang sekular, yang kemudian mempengaruhi penyusunan struktur kurikulum yang tidak memberikan ruang semestinya bagi proses penguasaan agama dan pembentukan kepribadian beragama.
Sistem pendidikan yang material-sekularistik tersebut sebenarnya hanyalah merupakan bagian belaka dari sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang juga sekular. Dalam sistem sekular, aturan-aturan, pandangan, dan nilai-nilai Islam memang tidak pernah secara sengaja digunakan untuk menata berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan. Karena itu, di tengah-tengah sistem sekularistik ini lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama.

b. Masalah-masalah cabang
Merupakan berbagai problem yang berkaitan aspek praktis/teknis yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan, seperti mahalnya biaya pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya sarana fisik, rendahnya kesejahteraaan guru, dan sebagainya. Masalah-masalah cabang ini tentu banyak sekali macamnya, di antaranya yang terpenting adalah sebagai berikut :
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
2. Rendahnya Kualitas Guru
Kebanyakan guru di Indonesia belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Selain itu, persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta). Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya.
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen.

4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru, pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Dalam laporan tahunan United Nations for Development Programme (UNDP) berjudul Human Development Report 2004 15 September 2004Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
6. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
7. Mahalnya Biaya Pendidikan
Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah. Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini karena kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Sehingga, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Kondisi ini lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit. Hal ini juga terjadi sebagai akibat dari tekanan utang Indonesia.
Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

2.2.3. Permasalahan penduduk di bidang ekonomi
Permasalahan penduduk dalam bidang ekonomi, erat kaitannya dengan kesejahteraan penduduk. Kesejahteraan sering dimaksudkan sebagai keadaan dimana masyarakat memiliki kemampuan lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Masyarakat yang dinilai mampu tersebut adalah masyarakat yang memiliki pekerjaan.
Masalah ketenagakerjaan tidak bisa dilepaskan dari persoalan pengangguran. Tingkat pengangguran merupakan salah satu indikator ekonomi makro yang menggambarkan keberhasilan perekonomian suatu negara. Tingkat pengangguran suatu negara biasanya dihubungkan dengan tingkat pengangguran terbuka (open unemployment); yang mengukur rasio penduduk yang sedang mencari pekerjaan terhadap angkatan kerja. Besar kecilnya tingkat pengangguran terbuka berkaitan erat dengan definisi penduduk yang bekerja.
Semakin meningkatnya jumlah penduduk dan tidak meratanya persebaran jumlah penduduk menjadi salah satu indicator banyaknya jumlah pengangguran. Hal ini terjadi karena tingkat persaingan untuk mendapatkan pekerjaan semakin ketat dan kurangnya lapangan pekerjaan. Selain itu, image masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan jauh lebih besar daripada image masyarakat untuk menciptakan pekerjaan.
Ketidakmerataan penduduk menyebabkan tidak meratanya pembangunan ekonomi di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini menyebabkan masih terdapatnya daerah tertinggal, terutama daerah-daerah pedalaman yang jauh dari pusat kota. Ledakan penduduk akibat angka kelahiran yang tinggi menyebabkan semakin tingginya kebutuhan penduduk akan perumahan, bahan pangan, dan kebutuhan tersier lainnya. Ledakan penduduk juga mengakibakan angka beban ketergantungan menjadi lebih tinggi. Hal ini disebabkan angka usia non produktif lebih besar daripada usia produktif.
Suatu perekonomian dikatakan relatif stabil dari sudut ketenagakerjaan apabila jumlah pengangguran tidak lebih dari 4 % dari jumlah pencari kerja. Negara mana pun di dunia ini baik yang dikategorikan negara maju maupun sedang berkembang senantiasa menghadapi masalah kependudukan (pengangguran). Perbedaannya, negara maju mampu memberikan tunjangan kepada warga negaranya yang menganggur, sedangkan negara berkembang belum mampu memberikan jaminan seperti itu.

2.2.4. Permasalahan penduduk di bidang hankam
Wilayah Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau, persebaran jumlah penduduk yang tidak merata dan beragamnya kemajemukan bangsa menjadi persoalan yang cukup rumit untuk mengatur sistem keamanan di Indonesia. Akibat banyaknya jumlah pengangguran, maka tingkat kriminalitas semakin tinggi. Selain itu, kurangnya kesadaran masyarakat akan kewajiban menjaga stabilitas keamanan di negerinya sendiri masih kurang tampak. Banyak masyarakat yang masih lebih mementingkan kepentingannya sendiri dibangdingkan kepentingan negerinya.

2.2.5. Permasalahan penduduk di bidang pertanian dan pangan
Berdasarkan data Susenas terlihat bahwa sebagian besar penduduk Indonesia lebih banyak menggunakan pengeluarnya untuk makanan. Pada tahun 2002, lebih dari 82% penduduk Indonesia menggunakan lebih dari 61% pengeluarannya untuk makanan. Untuk penduduk miskin, persentase pengeluaran rumah tangga yang digunakan untuk makanan jauh lebih besar. Untuk kelompok penduduk miskin, maka tidak kurang dari 69%-72% dari total pengeluaran digunakan untuk makanan.
Selain itu elastisitas pengeluaran bahan makanan sebagian besar penduduk Indonesia masih positif (> 0). Elastisitas pengeluaran makanan yang positif mengakibatkan adanya kenaikan pendapatan/pengeluaran per kapita akan meningkatkan pengeluaran atau permintaan untuk makanan lebih cepat daripada pertumbuhan penduduk. Dengan demikian, semakin tinggi elastisitas pendapatan, maka kenaikan konsumsi atau permintaan bahan makanan akan semakin lebih besar daripada kenaikan penduduk. Misalkan beras, elastisitas pengeluaran beras masih posisif meskipun diperkirakan sudah mendekati nol. Dengan demikian jika perekonomian tumbuh, maka permintaan beras akan lebih cepat daripada kenaikan penduduk.
Dengan kenyataan bahwa bagian terbesar dari penduduk Indonesia menggunakan sebagian besar pengeluarannya untuk makanan maka kebijakan harga makanan harus hati-hati. Harga makanan yang mahal akan berdampak pada pola pengeluaran sebagian besar penduduk Indonesia. Kebijakan harga bahan makanan yang relatif mahal di negara-negara yang memiliki pendapatan per kapita yang relatif lebih tinggi dan penduduk miskin yang relatif lebih rendah tidak akan berdampak besar terhadap anggaran sebagian besar rumah tangga.
Sebagian besar produksi padi berasal dari padi sawah. Pada tahun 2002 persentase produksi padi sawah mencapai 94,6%, sementara sisanya sebesar 5,4% berasal dari produksi padi ladang. Perkembangan produksi padi selama periode 1984 s/d 2003 cenderung mengalami perlambatan. Perlambatan produksi padi disebabkan peningkatan luas panen yang melambat dan indikasi penurunan produktivitas per ha. Produksi padi selama 5 tahun terakhir (1999-2003) sebesar 3,59% atau kurang lebih 0,7% per tahun yang lebih rendah daripada pertumbuhan penduduk Demikian juga halnya dengan produksi kedelai dan tebu di dalam negeri, cenderung mengalami penurunan.
Kondisi lainnya, adalah masih besarnya ketergantungan produksi bahan makanan di Indonesia dari pulau Jawa dan Bali. Hampir 57% produksi padi berasal dari Pulau Jawa dan Bali, sementara kontribusi dari Pulau Sumatera dan Kawasan Timur Indonesia masing-masing hanya sebesar 22,8% dan 20,2%. Demikian juga untuk kedelai, kontribusi produksi pulau Jawa dan Bali tidak kurang dari 73%. Dengan semakin langkanya lahan pertanian di pulau Jawa dan Bali secara implisit menunjukkan bahwa biaya produksi padi/beras di Jawa dan Bali relatif lebih tinggi dibandingkan dengan harga yang terjadi di pasaran dunia. Terlebih-lebih untuk penggunaan lahan sawah di Jawa dan Bali terdapat trade off antara tanaman padi dan tebu, maka tidaklah salah jika komoditi beras diberikan proteksi terhadap persaingan dengan impor dengan cara menetapkan bea masuk yang tidak terlalu tinggi (15-20%) agar tidak mendorong penyelundupan beras. Selain itu dana yang berasal dari bea masuk dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas padi per hektar di Jawa dan Bali. Dengan demikian petani padi memperoleh insentif ganda; berupa harga jual (akibat proteksi bea masuk) dan produktivitas per hektar (akibat subsidi) yang relatif tinggi. Peluang untuk meningkatkan produktivitas padi per hektar masih terbuka melalui perbaikan benih, cara bercocok tanam termasuk penyediaan sarana produksi pada waktu yang tepat (dibutuhkan).
Dalam perdagangan komoditi bahan makanan dalam arti luas (SITC 0, 1, 22 dan 4), sampai saat ini posisi Indonesia masih sebagai net exporter. Surplusnya transaksi perdagangan bahan makanan tersebut terutama karena surplus pada komoditi minyak/lemak nabati; seperti minyak sawit (SITC 4), hasil perikanan (SITC 03), serta kopi, kakao, teh dan rempah-rempah (SITC 07) mampu mengkompensasi defisit yang terjadi pada padi-padian, kacang kedelai, pakan ternak, gula dan hasil ternak.
Sebaliknya posisi Indonesia sebagai net importer terjadi pada komoditi padi-padian dan umbi-umbian (SITC 04), pakan ternak (SITC 08) dan biji-bijian mengandung minyak berkulit lunak; seperti kacang kedelai (SITC 222) dan hasil ternak. Untuk komoditi padi-padian dan umbi-umbian, nilai impor terbesar selama 5 tahun terakhir terjadi pada gandum (SITC 041) dan tepung gandum (SITC 046). Bahkan kenaikan impor tepung gandum tumbuh lebih cepat daripada gandum, sehingga ada indikasi bahwa perusahaan pengolahan gandum di dalam negeri sudah mulai kehilangan daya saingnya. Selain gandum, peningkatan impor yang cukup besar terjadi pada beras (SITC 042), namum demikian kenaikan impor beras terutama pada volumenya dan bukan nilainya. Kondisi ini memberi indikasi bahwa ada kecenderungan harga beras dunia mengalami penurunan atau harga beli beras masa lalu terlalu mahal. Volume impor terbesar terjadi juga pada gula pasir dan kacang kedelai, dimana volume impor rata-rata kedua komoditi ini selama 5 tahun terakhir naik dua kali lipat. Demikian juga untuk jagung (SITC 044), Indonesia masih sebagai net importer. Lebih besarnya nilai impor jagung dibandingkan dengan ekspor terutama terutama impor jagung yang digunakan untuk memproduksi pakan ternak.
Untuk komoditi hasil ternak berupa binatang hidup (SITC 00), produk olahan (SITC 01) dan susu, olahan susu dan telur (SITC 02), hampir semua produk menunjukkan posisi net importer, meskipun ada indikasi bahwa net importer untuk SITC 00 cenderung berkurang karena Indonesia mulai mengekspor unggas. Posisi net importer terbesar terjadi pada susu, olahan susu dan telur (SITC 022). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa industri sapi perah di dalam negeri belum mampu bersaing dengan luar negeri.
Meskipun untuk beberapa komoditi pertanian, posisi perdagangan Indonesia masih defisit namun beberapa komoditi lainnya memiliki potensi untuk menjadi net exporter. Kenaikan konsumsi pangan di dalam negeri yang dihadapkan pada produksi pangan yang terus menurut mengakibatkan impor mengalami kenaikan. Adanya ketergantungan pangan di dalam negeri dari impor sangat mengkhawatirkan. Contohnya, konsumsi beras dalam negeri saat ini besarnya sudah mencapai 1,5 sampai 2 kali volume perdagangan beras dunia. Untuk itu tidaklah salah jika khusus untuk beras harus diberikan proteksi dari persaingan terhadap impor dengan menetapkan bea masuk yang tidak lebih tinggi dari 20% (untuk mengurangi insentif bagi penyelundupan). Selanjutnya dana yang diperoleh dari bea masuk sebaiknya digunakan untuk meningkatkan produktivitas padi per hektar. Upaya tersebut dilakukan agar tingkat swasembada beras di dalam negeri dapat mencapai tidak kurang dari 90%. Pembangunan pertanian/pangan harus diprioritaskan pada beras, sementara untuk komoditi lain selama memiliki keunggulan dapat dikembangkan.
Akses pangan merupakan salah satu dari tiga dimensi ketahanan pangan, selain ketersediaan dan penyerepan pangan. Akses pangan dapat dikelompokkan menjadi: Akses panagn wilayah dan akses pangan rumah tangga. Akses pangan wilayah dimaksudkan disini adalah kemampuan memperoleh dan mendistrisbusikan pangan mulai tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota, kecamatan hingga tingkat Desa. Sedangkan akses pangan rumah tangga yaitu gambaran kemampuan keluarga untuk memperoleh pangan.
Seperti kata Malthus, populasi bertambah seperti deret ukur, sementara pangan bertambah seperti deret hitung. Dengan tingginya laju pertumbuhan populasi, maka jumlah kebutuhan makanan pun meningkat padahal lahan yang ada sangat terbatas. Untuk memenuhi kebutuhan makanan, maka hutan pun mulai dibabat habis untuk menambah jumlah lahan pertanian yang ujungnya juga makanan untuk manusia. Konversi hutan menjadi tanah pertanian bisa menyebabkan erosi. Selain itu bahan kimia yang dipakai sebagai pupuk juga menurunkan tingkat kesuburan tanah. Dengan adanya pembabatan hutan dan erosi, maka kemampuan tanah untuk menyerap air pun berkurang sehingga menambah resiko dan tingkat bahaya banjir.


BAB III PENYELESAIAN MASALAH PENDUDUK

Permasalahan penduduk yang dialami Indonesia tidak lepas dari jumlah penduduk yang melonjak dan tidak meratanya jumlah penduduk. Untuk mencapai pemerataan dan keseimbangan dalam penyebaran penduduk maka salah satu jalan dalam mengatasi masalah kependudukan ialah dengan mengadakan transmigrasi. Transmigrasi merupakan perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah lain dalam wilayah Indonesia umumnya orang-orang yang mengikuti program transmigrasi berasal dari Jawa, Madura, dan Bali, mereka biasanya ditempatkan di Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, Maluku, Irian Jaya, dan Nusantara.
Pulau Kalimantan yang merupakan salah satu pulau besar di Indonesia dan memilki jumlah penduduk yang relatif sedikit menjadi salah satu tempat tujuan transmigrasi. Wilayah ini mempunyai potensi yang sangat besar untuk mengembangkan pertanian, dengan lahan yang masih luas dan tanah yang subur terbuka peluang untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik bagi para transmigran.
Namun demikian, pemecahan masalah kependudukan juga perlu diselesaikan secara spesifik terhadap aspekaspek kependudukannya. Berikut adalah solusi terhadap permasalahan kependudukan berdasarkan aspek kependudukan.
3.1. Solusi permasalahan penduduk di bidang kesehatan
Kesehatan adalah hak dan investasi, dan semua warga negara berhak atas kesehatannya termasuk masyarakat miskin. Yang paling merasakan kurangnya sarana prasarana kesehatan adalah masyarakat miskin.Masyarakat miskin kerap kali mendapatkan kesulitan dalam meminta haknya untuk mendapatkan pelayanan yang layak di berbagai bidang termasuk kesehatan. Oleh karenanya, diperlukan suatu sistem yang mengatur pelaksanaan bagi upaya pemenuhan hak warga negara untuk tetap hidup sehat, dengan mengutamakan pada pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin. Pemerintah sejak tahun 2008 telah memantapkan penjaminan kesehatan bagi masyarakat miskin sebagai bagian dari pengembangan jaminan secara menyeluruh.
Selain itu pemerintah juga telah menambah fasilitas-fasilitas kesehatan dengan sistem yang lebih mudah bagi masyrakat, meningkatkan kualitas sarana dan prasarana kesehatan, peningkatan gizi masyarakat dan lain-lain menuju Indonesia Sehat.

3.2. Solusi permasalahan penduduk di bidang pendidikan
Yang menjadi titik tolak permasalahan pendidikan Indonesia adalah sistem pendidikan dan aspek yang berkaitan dengan pendidikan. Sementara itu, pendidikan merupakan modal pembangunan yang penting disamping kesehatan. Kemajuan pendidikan di Indonesia dapat dilihat dari lama sekolah dan tingkat melek huruf penduduk. Oleh karena itu pemerintah perlu memperbaiki sistem pendidikan negeri ini menjadi sistem yang lebih mengarah pada tujuan pendidikan, yaitu untuk mencetak pribadi yang berkualitas dan bermoral.
Selain itu, solusi untuk masalah cabang dalam pendidikan adalah dengan:
a. Melengkapi aset sarana dan prasarana pendidikan
b. Meningkatkan kualitas dan kesejahteraan guru
c. Lebih menerapkan langkah untuk meningkatkan prestasi siswa, sebagai generasi yang berkualitas
d. Pemerrataan kesempatan pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat.
e. Sistem pendidikan yang benar-benar mampu mencetak produk SDM yang dibutuhkan dunia global
f. Meminimalisir biaya pendidikan
g. Menerapkan teknologi informasi dalam bidang pendidikan

3.3. Solusi permasalahan penduduk di bidang ekonomi
Perekonomian kembali bergolak. Krisis yang terjadi akhir-akhir ini tidak mungkin bisa diselesaikan jika kita hanya menunggu solusi. Pemerintah sudah bukan saatnya lagi menyerahkan kebijakan pada pasar. Pemerintah juga harus selektif terhadap investasi yang dikuasai pihak asing. Pemerintah seharusnya tidak melepas semua sektor pada pasar, ketika menerapkan sistem ekonomi liberalis. Setiap komponen yang memiliki kontribusi terhadap perekonomian, harus diberi ruang agar dapat mendorong peningkatan pembangunan ekonomi negara. Pihak swasta juga diberi kebebasan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab dalam pembangunan ekonomi negeri ini. Tapi, perlu digarisbawahi bahwa pemerintahj mempunyai kekuatan dalam mengatur dan mengendalikan perekonimian Indonesia apabila menimbulkan suatu maslah yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Pemerintah juga harus mendukung semua kegiatan swasta dalam negeri seperti membuat kebijakan-kebijakan ekonomi yang dapat menguntungkan kepentingan pengusaha dalam negeri.
Selain itu, pemerintah hendaknya memberdayakan ekonomi masyarakat dengan menciptakan kemandirian pada masyarakat seperti bantuan untuk UKM (Usaha Kecil Menengah). Apabila ekonomi masyarakat bawah dapat mandiri danterlindungi, tentunya akan membawa energi positif dalam perekonomian nasional, karena masyarakat tidak lagi bergantung pada negara.
Hal di atas juga akan lebih sehat dengan penciptaan sistem ekonomi yang stabil dan tahan krisis. Dalam hal ini, pemerintah hendaknya cermat dan selektif dalam mengamvil kebijakan ekonomi dan lebih memprioritaskan kepentingan dalam negeri daripada kepentingan asing. Kebijakan dan kepedulian ini nantinya akan melahirkan image baru bagi masyrakat untuk menciptakan kesejahteraan hidupnya. Image masyarakat yang ingin mendapatkan pekerjaan akan berubah menjadi image masyarakat untuk menciptakan pekerjaan.

3.4. Solusi permasalahan penduduk di bidang hankam
Untuk mengatasi permasalahn hankam di Indonesia, dibutuhkan sistem hankam yang benar-benar memiliki kekuatan yang mengikat dan memaksa. Artinya, pelaku akan mendapatkan sanksi tegas dari kesalahan yang dilakukannya. Hal ini harus diberlakukan untuk seluruh lapisan masyarakat. Penetapan kebijakan di bidang hankam harus benar-benar konsekuen dan bertata hukum yang jelas.

3.5. Solusi permasalahan penduduk di bidang pertanian dan pangan
Dengan semakin meningkatnya jumlah kebutuhan pangan akibat lonjakan jumlah penduduk, dibutuhkan solusi yang tepat untuyk mencegah terjadinya krisis pangan. Diperlukan teknologi yang tepat guna dalam pertanian agar berkurangnya lahan pertanian tidak menjadi kendala dalam memenuhi jumlah pertanian sesuai jimlah yang ditentukan.
Bioteknologi menjadi topik menarik penelitian di dunia untuk mengatasi berbagai masalah pangan hingga kesehatan. Apalagi sejak dikembangkannya teknologi rekombinan DNA (deoxyribose nucleid acid) yang memungkinkan manusia mampu menghasil¬kan sesuatu yang sebelumnya sulit dapat dibayangkan. DNA, se¬bagai bahan materi genetik, mampu dimanipulasi dan direka¬yasa sesuai dengan keinginan manusia. Pengembangan bioteknologi rekombinan DNA ini sangat banyak manfaatnya, khususnya di bidang agrikultur dan kedokteran. Dalam bidang agrikultur, bioteknologi dengan sistem genom, misalnya, dapat memperbaiki mutu tanaman dan hewan ternak. Sistem genom merupakan sistem molekuler biologis dalam lingkup yang besar. Sistem genom ini penting untuk mencegah hilangnya jumlah produksi tanaman yang bisa disebabkan oleh penyakit, serangga, gulma, dan lingkungan. Penyumbang terbesar kehilangan ini adalah lingkungan, baik berupa curah hujan yang tinggi, kekeringan, hujan es, dan lain-lain.


BAB IV PENUTUP

4.1. Kesimpulan
4.11. Permasalahan penduduk Indonesia pada dasarnya dapat dikategorikan dalam dua permasalahan utama, yaitu jumlah dan pertumbuhan penduduk yang tinggi dan persebaran jumlah penduduk yang tidak merata.
4.12. Solusi dari semua permasalahan penduduk yang ada, intinya berasal dari kerja sama yang baik dari pemerintah dan masyarakat.

4.2. Saran
4.2.1. Pemerintah hendaknya semakin meningkatkan kualitas pendidikan yang berbasis teknologi informasi untuk mencetak SDM Indonesia yang berkualitas dan mampu menghadapi tantangan dunia global; memperbaiki pelayanan dan sarana kesehatan, dan menerapkan komitmen yang terarah dari kebijakan yang diciptakan;
4.2.2. Masyarakat hendaknya lebih menjaga dan melestarikan apa yang dimilikinya di negeri Indonesia ini. Menciptakan solusi, bukan menunggu solusi dari setiap permasalahan yang ada.

DAFTAR RUJUKAN

http://www.astudio.id.or.id
http://akuinginhijau.org
http://www.bps.go.id/news/dokumen_putusan_sidang_2009.pdf?
http://www.datastatistik-indonesia.com
http://www.geocities.com/
http://www.hotimannasien.multiply.com
http://www.indunesia.com/index.php
http://www.jchkumaat.wordpress.com
http://jurnal.um.ac.id/
http://www.macromedia.co.id
http://www.media.diknas.go.id
http://www.menkokesra.go.id
http://www.mitrafm.com
http://www.newyorkermen.multiply.com
http://www.resep.web.id/kesehatan
http://www.sultra.go.id/
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama
http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_negara_menurut_jumlah_penduduk
http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia
http://id.wikipedia.org/wiki/Kependudukan
http://id.wikipedia.org/wiki/Penduduk
http://id.wikipedia.org/wiki/Politik_Indonesia
http://www.windu2008.blogspot.com
http://www.yayang08.wordpress.com
http://id.voi.co.id/specialnews/
Buldokc ’Buletin Demokrasi Ecpose’ Fakultas Ekonomi UNEJ, Februari 2009
Pikiran Rakyat 9 Januari 2006
Republika, 13 Juli, 2005
Subchan, Drs. Wachju, M.S,Ph.D.2005. Ilmu Pengetahuan Lingkungan. Laboratorium Sumber Belajar Biologi. Jember: Unej.

Tidak ada komentar: