semburat jingga

semburat jingga
tenggelam.... kembali

Jumat, 28 Mei 2010

Evaluasi dan Organisasi Kurikulum


oleh:
Diana Eka Siskarini (080210193001)
Rachmita Rafikasari (080210193005)
Kedawung Senja (080210193047)


BAB I PENDAHULUAN



Memasuki tahun 2004 ini, sejak Indonesia merdeka, kita telah mengenal berbagai kurikulum, ada kurikulum 1947, kurikulum tahun 1950-an, kurikulum tahun 1964, kurikulum tahun 1968, kurikulum 1975, kurikulum 1984, dan kurikulum 1994. Mengapa kurikulum yang satu diganti dengan kurikulum yang lainnya. Sampai dengan kurikulum 1984, perubahan kurikulum banyak yang dipengaruhi oleh perubahan politik. Kurikulum 1964 disusun untuk meniadakan MANIPOL-USDEK, kurikulum 1975 digunakan untuk memasukkan Pendidikan Moral Pancasila, dan kurikulum 1984 digunakan untuk memasukkan mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Kurikulum 1994, disamping meniadakan mata pelajaran PSPB juga diperkenalkannya system kurikulum SMU yang dimaksudkan untuk menjadikan pendidikan umum benarbenar sebagai pendidikan persiapan ke perguruan tinggi.
Dari serangkaian perubahan kurikulum, yang didasarkan atas hasil penilaian nasional pendidikan (national assessment) hanyalah kurikulum 1975 dan kurikulum PPSP (Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (1974–1981). Selebihnya merupakan perubahan yang didasarkan atas asumsi teoretik, bukan atas dasar temuan-temuan hasil evaluasi yang dilakukan secara sistematik. Karena itu kita sukar untuk menjawab pertanyaan “Seberapa jauh kurikulum 1975, 1984, 1994 telah, belum atau tidak berhasil mempengaruhi peningkatan mutu pendidikan?” Sesungguhnya pada tahun 1981 Balitbang Depdikbud telah selesai (dimulai tahun 1978) melakukan studi evaluasi kurikulum secara nasional yang komprehensif dengan datanya terkumpul dalam 6 (enam) disket komputer. Tetapi penggantian kurikulum 1975 menjadi kurikulum 1984 sama sekali tidak didasarkan atas hasil evaluasi tersebut.
Bahkan data yang terkumpul dari hasil penelitian evaluatif yang berlangsung dari tahun 1978 sampai tahun 1980-pun tidak sempat diolah lebih lanjut. Memang tradisi penelitian dan pengembangan yang dirintis oleh almarhum Menteri Mashuri dan diperkuat oleh Prof. Dr. Soemantri Brodjonegoro nampaknya berhenti sejak Menteri Nugroho Notosusanto.
Organisasi kurikulum penting sekali karena kaitan-kaitan antara kegiatan-kegiatan belajar dan materi pelajaran satu sama lain akan menimbulkan dampak yang berbeda, baik tentang apa yang dipelajari maupun tentang cara bagaimana bahan, konten atau materi yang tertentu dipelajari. Organisasi kurikulum pasti juga akan berdampak lain dalam mengajarkan sesuatu konten atau materi tertentu kalau dilengkapi dengan kegiatan tambahan seperti latihan, prakek lapangan, atau penguatan tentang konsep atau keterampilan tertentu. (Mc Neil, 1977:155).
Selama ini model kurikulum yang berlaku adalah model kurikulum yang bersifat akademik. Kurikulum yang demikian cenderung terlalu berorientasi pada isi atau bahan pelajaran. Berdasarkan hasil beberapa penelitian ternyata model kurikulum yang demikian kurang mampu meningkatkan kemampuan anak didik secara optimal. Hal ini terbukti dari rendahnya kualitas pendidikan kita dibandingkan dengan negara lain. Sebagai contoh bahwa di beberapa negara Asean menunjukkan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada tingkat terendah, untuk mata pelajaran matematika berada pada urutan ke 32 pada tingkat SLTP. Bukti ini hanya sebagian kecil saja dari keterpurukan output pembelajaran yang selama ini dikembangkan berdasarkan kurikulum akademik yang berlaku.


BAB II PEMBAHASAN


2.1 Organisasi Kurikulum
Organisasi kurikulum mencakup urutan, aturan dan integrasi kegiatan-kegiatan belajar sedemikian rupa guna pencapaian tujuan-tujuan.
Beragamnya pandangan yang mendasari pengembangan kurikulum memunculkan terjadinya keragaman dalam mengorgansiasikan kurikulum. Setidaknya terdapat enam ragam pengorganisasian kurikulum, yaitu:
1. Mata pelajaran terpisah (isolated subject); kurikulum terdiri dari sejumlah mata pelajaran yang terpisah-pisah, yang diajarkan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dengan mata pelajaran lainnya. Masing-masing diberikan pada waktu tertentu dan tidak mempertimbangkan minat, kebutuhan, dan kemampuan peserta didik, semua materi diberikan sama
2. Mata pelajaran berkorelasi; korelasi diadakan sebagai upaya untuk mengurangi kelemahan-kelemahan sebagai akibat pemisahan mata pelajaran. Prosedur yang ditempuh adalah menyampaikan pokok-pokok yang saling berkorelasi guna memudahkan peserta didik memahami pelajaran tertentu.
3. Bidang studi (broad field); yaitu organisasi kurikulum yang berupa pengumpulan beberapa mata pelajaran yang sejenis serta memiliki ciri-ciri yang sama dan dikorelasikan (difungsikan) dalam satu bidang pengajaran. Salah satu mata pelajaran dapat dijadikan “core subject”, dan mata pelajaran lainnya dikorelasikan dengan core tersebut.
4. Program yang berpusat pada anak (child centered), yaitu program kurikulum yang menitikberatkan pada kegiatan-kegiatan peserta didik, bukan pada mata pelajaran.
5. Inti Masalah (core program), yaitu suatu program yang berupa unit-unit masalah, dimana masalah-masalah diambil dari suatu mata pelajaran tertentu, dan mata pelajaran lainnya diberikan melalui kegiatan-kegiatan belajar dalam upaya memecahkan masalahnya. Mata pelajaran-mata pelajaran yang menjadi pisau analisisnya diberikan secara terintegrasi.
6. Ecletic Program, yaitu suatu program yang mencari keseimbangan antara organisasi kurikulum yang terpusat pada mata pelajaran dan peserta didik.
Berkenaan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, tampaknya lebih cenderung menggunakan pengorganisasian yang bersifat eklektik, yang terbagi ke dalam lima kelompok mata pelajaran, yaitu : kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; kelompok mata pelajaran estetika; dan kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan
Kelompok-kelompok mata pelajaran tersebut selanjutnya dijabarkan lagi ke dalam sejumlah mata pelajaran tertentu, yang disesuaikan dengan jenjang dan jenis sekolah. Di samping itu, untuk memenuhi kebutuhan lokal disediakan mata pelajaran muatan lokal serta untuk kepentingan penyaluran bakat dan minat peserta didik disediakan kegiatan pengembangan diri.

a. Ruang lingkup Organisasi Kurikulum
Oleh karena begitu banyaknya informasi dan pengetahuan yang muncul tiap saat, terutama pada abad teknologi maju zaman sekarang ini, dirasa tidak mungkin mengajarjan semuanya pada anak-anak dalam waktu yang terbatas. Jeas tidak cukup waktu untuk dapat memberikan atau menyajikan berapa banyak pengetahuan yang harus diberikan kurikulum sekolah, maah juga tidak mungkin untuk memberikan sampel untuk setiap bidang studi, juga untuk setiap konsep atau topic. Sehubungan dengan itu, Schubert (1986:234) mengajukan 5 macam konsep ruang lingkup: mata pelajaran, bidang besar (broad field), projek, kurikulum inti dan integrasi.
1. Mata pelajaran
Ruang lingkup berdasarkan mata pelajaran yang terpisah-pisah (separate subject matters) sudah amat lumrah didapat pada setiap kurikulum sekolah dimana-mana. Berapa mata pelajaran tertentu dipilih berdasarkan anggapan bahwa mata pelajaran tersebut berguna dan relevan untuk dipelajari pelajar atau anak-anak. Sedangkan mata pelajaran lainnya yang dianggap tidak perlu dikesampingkan. Misalnya, hampir semua kurikulum mencantumkan bahasa, sains dan matematika.
Penyokong mata pelajaran tertentu yang dipilih untuk dimasukkan dalam kurikulum berdasarkan asumsi bahwa disiplin ilmu merupakan satu pengetahuan yang terpisah-pisah, yang harus dipelajari secara terpisah pula, dan beberapa disiplin ilmu atau bidang studi tertentu lebih penting dari disiplin ilmu atau bidang studi lainnya. Penantang masalah ini mengemukakan bahwa masalah-masalah hidup tidak berada pada paket-paket disiplin ilmu. Menurut mereka, adalah suatu kekeliruan jika menganggap bahwa disiplin ilmu tertentu, seperti sains, atau matematika, lebih penting atau lebih berguna bagi anak didik daripada yang lain seperti seni, music dan lain-lain.

2. Bidang besar (broad field)
Karena kritik terhadap mata pelajaran terpisah-pisah, maka beberapa ahli kurikulum menyatukan beberapa mata pelajaran atau disiplin ilmu menjadi satu bidang studi yang lebih besar, seperti menyatukan matematika dan sains menjadi ilmu pengetahuan alam (IPA) atau ilmu pengetahua social (IPS) sebagai gabungan beberapa mata pelajaran social.
Penyokong penggabungan ini mengemukakan bahwa kita harus mengajarkan kepada anak-anak saling kaitan antara bidang-bidang ilmu yang berdekatan.

3. Projek
Meode proyek yang dikembangkan Kilpatrick melibatkan para siswa untuk melakukan suatu proyek yang penyelesaiannya memerlukan pengetahuan dan mencakup banyak bidang studi atau disiplin ilmu. Menurut konsep ini, proyek ini ditentukan oleh para siswa, walau pada prakteknya seringkali proyek yang akan dilakukan para siswa ini ditentukan oleh guru.
Kesan yang ingin dimiliki siswa dalam melakukan proyek adalah bahwa untuk memahami suatu masalah dengan jelas di masyarakat diperlukan perspektif yang lebih luas dengan mengambil pengetahuan dari disiplin imu yang berbeda-beda dan terkait. Dengan perkataan lain, metode ini menanamkan pengertian kepada para anak didik, bahwa diperlukan perspektif ilmu yang berbagai macam untuk dapat memahami suatu faset atau masalah yang terdapat dalam kultur masyarakat, kehidupan pribadi, atau masalah intelektual. Orang yang tidak setuju dengan metode ini mengajukan keberatan dengan mengemukakan bahwa proyek direncanakan tanpa mempertimbangkan keinginan atau kebutuhan para siswa. Oleh karena itu, proyek seringkali artificial tidak berdasarkan minat siswa yang sesungguhnya diinginkan mereka.

4. Kurikulum inti
Kurikulum inti yang diajukan Aberty, Faunce dan Bassing menyatakan beberapa disiplin ilmu bersama-sama dalam satu pusat kesatuannya yang biasanya mengenai masalah social. Misalnya, masalah seperti perang dan damai, penghancuran ekologi, kelaparan, peledakan penduduk, kemiskinan atau kecemburuan social, dapat dipeljarai dengan membimbing para para pelajar melakukan riset sehingga mereka memperoleh pengertian yang cukup dalam dari berbagai disiplin ilmu atau dari pengalaman praktis mereka di masyarkat.
Penyokong kurikulum ini mengatakan bahwa siswa memahami ilmu pengetahuan bahwa ilmu pengetahuan dapat diaplikasikan sambil mempelajarinya. Kegiatan belajar melalui kurikulum inti ini dapat mendorong siswa untuk mmpelajrai masalah-masalahbesar dan yang menarik untuk dikaji bersama, sehingga dapat pula melihat saling kaitan yang lebih dalam mengenai masalah itu daripada hanya mempelajarinya dari satu segi saja. Kurikulum inti biasa ditawarkan pada siswa sekolah menengah, baik tingkat pertama maupun atas sedangkan proyek biasa ditawarkan di sekolah dasar.
Kritik terhadap kurikulum inti, dan mungkin juga terhadap kurikulum proyek, adalah bahwa masalah social sangat abstrak bagi sebagian besar siswa, dan mereka belum dapat menghayatinya sendiri. Mata pelajaran tidak diajarkan secara sistematik karena siswa cenderung mempelajari hanya apa yang diharuskan untuk dipelajari dan malahan banyak yang berada dalam setiap disiplin ilmu tidak dapat dipeljari dengan baik. Selain itu, kurikulum inti ini saat ini sudah berubah artinya menjadi seperangkat mata pelajaran tertentu yang haris diambil semua anak sebelum ia dibolehkan mengambil mata pelajaran pilihan.

5. integrasi.
Seorang atau sekelompok siswa merupakan suatu pusat yang menetapkan ruang lingkup studinya. Secara bersama-sama atau secara individual, mereka mengeksplorasi arah studi mereka dalam suatu proses yang dituntun oleh suatu pertumbuhan personal dan social mereka.
Penyokong kurikulum integrasi menyatakan bahwa integrasi memungkinkan anak didik menyadari kemampuan mereka mengendalikan hidup mereka sendiri dan memiliki pengalaman untuk bertanggung jawab bagi pendidikan mereka sendiri.
Kritik terhadap konsep integrasi menyatakan bahwa anak-anak belum matang untuk memikul tanggung jawab itu. Mereka belum memiliki latar belakang bagi kurikulum berimbang untuk mereka sendiri dan sekolah tidak dapat menjamin apa yang mereka pelajari pada semua tingkat sekolah, sedangkan keseimbangan kurikulum amat penting jika masalah ruang lingkup harus diselesaikan.

b. Urutan
Urutan adaah rangkaian materi, konten atau kegiatan belajar yang dipresentasikan kepada para anak didik. Sebenarnya urutan dan ruang lingkup saling berkaitan. Schubert memaparkan kriteria penentuan urutan, yaitu presentasi menurut buku teks, preferensi guru, struktur disiplin ilmu, minat anak didik, hirarkhi belajar dan perkembangan.
1. Buku teks
Urutan yang amat umrah dari konten diskolah-sekolah saat ini adalah urutan presentasi menurut yang tertera pada buku teks. Guru hanya mengikuti saja organisasi dan urutan materi dan konten kurikulum seperti yang tertera pada buku teks, paket belajar atau unit-unit pelajaran yang telah disiapkan terlebih dahulu. Dalam hal ini seringkali guru merasa kurang aman kalau mereka tidak mengikuti dan tidak meliput bahan dan konten yang tersedia. Yang lbih lagi adalah ketakutan guru mempertanyakan bahan atau materi yang terdapat dalam buku teks atau paket belajar.
Penyokong urutan konten atau materi menurut yang terdapat dalam buku teks, paket belajar dan lain-lain adalah bahwa urutan tersebut sudah sangat baik karena buku paket belajar, atau ateri instruksional lainnya disusun para ahli disiplin ilmu atau bidang studi masing-masing.
Orang yang tidak setuju dengan ide ini mengemukakan bahwa bahan atau materi tersebut tidak disusun menurut bakat, minat atau tingkat kematangan pelajar: itu hanya disusun berdasarkan urutan logika mata pelajaran atau disiplin itu. Apalagi penyusun materi lebih berperan sebagai ilmuwan daripada pengembang atau ahli kurikulum. Dengan perkataan lain, materi mata pelajaran atau konten kurikulum tersusun dalam buku teks secara struktur logika (logical structure), belum tentu tersusun meurut tingkat kemampuan anak didik atau urutan psikologis (psychological structure).

2. Preferensi guru
Para guru menentukan sendiri suunan dan urutan materi atau konten yang diajarkannya sesuai dengan pertimbangan logika, psikologis atau professional masing-masing guru. Penelitian Hunter memperkuat dugaan ini yaitu guru bukanlah orang yang mengimplementasikan kurikulum secara pasif. Mereka adalah pengmbil keputusan kurikulum yang aktif. Maksudnya, mereka ternyata seringkali menentukan urutan konten atau materi sendiri menyimpang dari urutan yang telah ditetapkan. Hal ini memungkinkan para guru menyajikan organisasi kurikulum dan konten pelajaran sesuai dengan hasi pengamatannya tentang anak didik atau siswa yang diajarnya.
Penyokong urutan guru tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa guru adalah seorang yang profesiona, yaitu seorang yang mampu memahami tingkat kemampuan siswa mereka untuk mempelajari materi yang disajikan. Oleh karena itu mereka dapat menerima, menolak, mengadaptasi, atau memberikan tambahan yang diperlukan karena merekalah orang yang paling tahu dan memahami anak didik mereka secara mendalam sebab mereka berhadapan dengan anak didik mereka itu setiap saat.
Walaupun begitu, para kritisi urutan prefensi guru ini menyangsikan kemampuan guru untuk secara professional menentukan organisasi dan urutan konten atau materi kurikulum.

3. Struktur disiplin ilmu
Disiplin ilmu diasumsikan memiliki struktur yang melekat. Dalam struktur ini termasuk urutan konten kurikulum. Oleh karena itu, para penyusun kurikulum harus percaya pada susunan yang telah dibuat para ahli disiplin ilmu yang teah diorganisir dan diurut menurut struktur logika bidang studi masing-masing.
Orang yang tidak setuju dengan pendapat ini menyatakan bahwa sebagian besar bidang studi tidak memiliki struktur yang melekat terutama kalau kita berbicara tentang bidang studi atau pengetahuan di luar matematika dan ilmu pengetahuan alam seperti fisika dan kimia. Bahkan pada ilmu pengetahuan alam, para ahli mengakui bahwa strukturnya bertukar dengan cepat setelah temuan-temuan baru diperoleh. Hal ini akan ternyata benar apabila kita mengingat bahwa factor-faktor lain seperti pengetahuan awal, keinginan pelajar, relevansi, persepsi pelajar dan lain-lain memegang peranan penting bagi keberhasilan belajar siswa. Hasil riset psikologi kognitif menyatakan bahwa sanagt banyak variable yang harus diperhitungkan waktu memutuskan urutan (sequence), bukan hanya berdasarkan struktur logika dari disiplin ilmu itu saja.

4. Perhatian pelajar atau minat anak didik
Jika para pelajar tertarik dan ingin mempelajari lebih mendalam tentang suatu masalah, mereka cenderung berusaha keras mempelajarinya. Usaha yang memberikan hasil untuk menemukan sesuatu membuka pintu bagi masalah-masalah baru.
Urutan konten atau materi harus berdasarkan pada pngertian bahwa suatu pengetahuan akan sangat relevan kalau pengetahuan itu diminati dan dipelajari sendiri oleh peserta didik sesuai denan minat dan keinginannya. Jika sesuati diminati dan diinginkan pelajar untuk dipelajarinya, mendalaminya lebih mudah daripada sesuatu yang ditentukan orang lain urutannya.
Orang yang menolak pendapat tersebut menyatakan bahwa perhatian pelajar tidak dapat dipakai sebagi dasar pertimbangan bagi struktur dan urutan kurikulum. Anak didik masih memerlukan bimbingan orang dewasa waktu belajar. Pendidik yang professional dapat secara teliti mempelajari siswa sebagai dasar untuk menetapkan urutan atau susunan kurikulum berdasarkan kebutuhan dan tingkat perkembangan mereka, bukan hanya perhatian mereka saja.

5. Hirarkhi belajar
Belajar harus berangkat dari hahal sederhana menuju hal-hal yang lebih kompleks. Oleh karena itu, urutan harus sesuai dengan apa yang diketahui dari teori-teori belajar. Secara berangsur-angsur dimulai dengan mempelajari konstruk (construct) dan prinsip-prinsip berdasarkan data dan konsep. Pengertian secara keseluruhandari suatu konstruk itu akan muncul kalau itu dipresentasikan secara sistematik dan analitis. Akan lebih baik kalau urutan kurikulum didasarkan pada hasil-hasil kajian empiris yang memberikan pengertian tentang kondisi apa yang dapat menumbuhkan belajar.
Kritik terhadap urutan berdasarkan hirarkhi belajar juga banyak. Tidak ada teori belajar atau riset yang mengatakan bahwa urutan mode hirarkhi ini efektif. Beberapa peneliti menganjurkan agar kita berangkat dari yang khusus menuju yang lebih umum, sedangkan yang lain menganjurkan yang sebaiknya. Argumentasi yang sama juga diberikan terhadap tepat mulai antara urutan konten yang abstrak dan yang konkrit. Ada yang menyatkan bahwa pelajaran harus dimulai dari konten atau materi yang dekat dengan kehidupan anak (keluarga, tetangga, dan lain-lain) menuju ke yang agak jauh seperti kabupaten, propinsi, negara dan dunia. Tetapi yang lain menganjurkan sebaliknya karena anak suka berfantasi, kemudian menuju kehidupan yang riil. Semua itu memang ada benarnya. Mungkin saja urutan yang satu sesuai dengan anak-anak tertentu atau konten tertentu, tetapi yang lain mungkin efektif bagi anak-anak atau materi yang lain.
6. Perkembangan
Konten atau kegiatan belajar yang diberikan kepada anak-anak atau pelajar harus sesuai dengan tingkat kematangan mereka, baik pada aspek kognitif maupun moral.
Teori perkembangan Piaget (Good and Braphy, 1977:272-274) mengemukakan bahwa tingkat perkembangan kognitif anak bergerak dari tingkat motorik sensori (18 bulan-7 tahun), ke operasi konkrit (8-12 tahun), ke tingkat operasi normal (12 tahun). Sementara Kohlberg telah mendapatkan 6 tingkat perkembangan moral: patuh pada hukuman, pembalasan (reciprocity), konformitas, hukum dan ketertiban, kontrak social atau orientasi konstitusional dan prinsip. Implikasi kurikuum berdasarkan teori-teori perkembangan ini ialah urutan kurikulum dan pengajaran harus menyesuaikan konten dengan tingkat perkembangan anak.
Orang yang tidak setuju dengan konsep ini menyatakan bahwa belum jelas bagaimana menjabarkan tingkat-tingkat perkembangan anak menurut teori Piaget atau Kohlberg ke dalam organisasi kurikulum. Sehingga yang paling baik dapat dilakukan menurut Schubert adalah mengikuti pandangan positif John Dewey terhadap anak dengan mendorong guru-guru untuk mempertimbangkan sendiri secara professional urutan kurikulum ada situasi tertentu.


c. Elemen Organisasi
Agar konten dan kegiatan belajar dapat saling berkaitan, baik secara vertical maupun secara horizontal, diperlukan suatu elemen pemersatu antara keduanya, agar kaitan atau hubungan keduanya lebih kuat dan terstruktur. Dalam sebuah buku yang ditulis oleh Mc Neil, elemen pemersatu tersebut adalah sebagai berikut:
1. Konsep; konten atau materi kurikulum dikembangkan sekitar konsep tertentu seperti kebudayaan, pertumbuhan, nomor, ruang, entropy, evaluasi dan lain-lain.
2. Generalisasi; kesimpulan yang diambi oleh ilmuwan berdasarkan observasi yang mendalam.
3. Keterampilan; biasanya merupakan suatu keahlian atau kemampuan yang direncanakan untuk dimiliki anak didik menurut kurikulum bagi kelangsungan proses belajarnya. Misalnya, anak-anak SD menyusun pengalaman belajarnya sekitar pengenalan atau kemampuan untuk memahami, keterampilan dasar matematika yang fundamental. Serta keterampilan menafsirkan data.
4. Nilai, nilai filsafat di masyarakat agar dapat hidup dengan baik dan diterima oleh masyarakat seperti menghargai hakikat kemanusiaan setiap orang melihat suku, ras, bangsa, agama, pangkat, penghasilan serta harga diri. Jika kurikulum disusun sekitar nilai-nilai, maka sebagian besar kegiatan dan pengalaman belajar diatur sedemikian rupa agar nilai-nilai itu dihayati dan dimiliki anak didik. Tentu saja elemen organisasi itu dipilih dalam kaitannya dengan pencapaian tujuan-tujuan yang ditetapkan kurikulum. Misalnya jika tujuan kurikulum berkaitan dengan teknik dan vokasional, elemen yang sesuai dengan itu barangkali keterampilan yang dibutuhkan dalam bidang teknik. Tetapi kalau yang ingin dicapai adalah moral dan etika, maka nilai barang merupakan elemen organisasi kurikulum yang cocok.
Tyer dan Zais berbicara tentang susunan atau organisasi kurikulum atau kegiatan belajar yang horizontal dan yang vertical. Susunan horizontal adalah kaitan atau hubungan konten dan kegiatan dan kegiatan beajar yang dilaksanakan pada suatu tingkat kurikulum teretentu, atau pada suatu kelas-kelas yang bersamaan pada mata pelajaran tertentu, baik sama-sama dilakukan dalam sekolah maupun luar sekolah.
Umpama kegiatan yang menyangkut kajian tentang persepsi masyarakat mengenai pemakaian alat kontrasepsi dapat dilakukan dengan menulis artikel, artikel, karangan mengenai hal yang sama pada kelas-kelas bahasa Indonesia atau Inggris. Alas an bagi penetapan organisasi kurikulum dan kegiatan-kegiatan belajar yang disusun bersamaan ini pada beberapa mata pelajaran yang berbeda dapat dikaitkan dengan peningkatan ranah afektif siswa terhadap masalah sosial yang cukup hangat saat ini dan pengaruhnya terhadap masyarakat.
Susunan vertical mengacu pada urutan konten materi atau kegiatan belajar dari suatu saat ke saat berikutnya menurut kurikulum. Umpama penelitian lapangan yang dibidang yang dibimbing guru diberikan sebelum siswa melaksanakan penelitian mandiri dilapangan
Kedua organisasi vertical dan horizontal diharapkan akan menimbulkan hasil kumulatif sebab kedua organisasi kurikulum ini dapat saling isi mengisi dan saling memperkuat untuk mencapai pengertian yang lebih dalam dan lebih luas dari konten kurikulum. (Muhammad Ansyar, 1989:122-130)


2.2 Evaluasi Kurikulum
Evaluasi kurikulum memegang peranan penting baik dalam penentuan kebijaksanaan pendidikan pada umumnya, maupun pada pengambilan keputusan dalam kurikulum. Hasil-hasil evaluasi dapat digunakan oleh pemegang kebijaksanaan pendidikan dan para pengembang kurikulum dalam memilih dan menetapkan kebijaksanaan pengembangan sistem pendidikan dan pengembangan model kurikulum yang digunakan. Hasil-hasil evaluasi kurikulum juga dapat digunakan oleh guru-guru, kepala sekolah, dan para pelaksana pendidikan lainnya, dalam memahami dan membantu perkembangan siswa, memilih bahan pelajaran, memilih metode dan alat-alat bantu pelajaran, cara penilaian, serta fasilitas pendidikan lainnya.
Evaluasi kurikulum sukar dirumuskan secata tegas, hal itu disebabkan beberapa faktor:
• Evaluasi kurikulum berkenaan dengan fenomena-fenomena yang terus berubah
• Objek evaluais kurikulum adalah sesuatu yang berubah-rybah sesuai dengan konsep kurikulum yang digunakan
• Evaluasi kurikulum merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh manusia yang sifatnya juga berubah.
Evaluasi kurikulum merupakan dua disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Ada pihak yang berpendapat antara keduanya tidak ada hubungan, tetapi ada pihak lain yang manyatakan keduanya memiliki hubungan sangat erat. Pihak yang memandang ada hibingan, hubungan tersebut merupakan pengaruh sebab akibat. Perubahan dalam kurikulum berpengaruh pada evaluasi kurikulum bersifat organis, dan prosesnya berlangsungf secara evolusioner. Pandangan –pandangan lama yang tidak sesuao lagi dengan tuntutan zaman, secara berangsur-angsur diganti denngan pandangan lain yang lebih sesuai.
R.A Becher, seorang ahli pendidikan dari Universitas Sussex Inggris menyatakan bahwa: tiap program pengembangan kurikulum mempunyai style dan karateristik yang sama pula. Seorang evaluator akan menyusun program evaluasi kurikulum sesuai dengan style dan karateristik kurikulum yang dikembangkannya. Ajauga terjadi sebaliknya, hasil program evalusi kurikulum akan mempengaruhui pelaksaan praktik kurikulum.
Konsep R.A. Becher tentang perkembangan kurikulum dan evaluasi kurikulum, pada mulanya bersifat dekskriptif yaitu menekankan pada what it is? Tetapi kemudian berkembang kepada sifat yang menekankan what ought tu be. KOnsep evaluais kurikulum yang bersifat perskriptif yaitu mempunyai tempat konsep kurikulum yang bersifat demikian pula. Sebagai contoh, teori Ralph Tylor dan Benyamin Bloom, berisikan pedoman praktis bagi perkembangan kurikulum, demikian juga dengan teori kurikulum lainnya.
Evaluasi merupakan kegiatan yang luas, kompleks dan terus menerus untuk mengetahui proses dan hasil pelaksanaan sistem pendidikan dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan. Evaluasi juga meliputi rentangan yang cukup luas, mualia dari yang bersifat sangat informal dampai dengan yang sangat formal. Pada tingkat yang lebih formal, evalusi kurikulum meliputi pengumpulan dan pencatatan data, sedangkan pada tingkat yang sangat formal berbentuk pengukuran berbagai bentuk kemajuan kea rah tujuan yang telah ditentukan.
Komponen kurikulum yang dievalusai juga sangat luas. Program evaluasi kurikulum bukan hanya mengevaluasi hasil belajar siswa dan proses pembelajarannya, tetapi juga desain implementasi kurikulum, kemampuan untuk kinerja guru, kemampuan dan kemajuan siswa, sarana, fasilitas dan sumber belajar, dan lain-lain.
Konsep kurikulum sangat luas mencakup segala komponen dan kegiatan pensisikan. Evaluasi kurikulum sering juga dibatasi secara sempit, yaitu hanya ditekankan pada hasil yang dicapai oleh murid. Luas atau sempitnya suatu program evaluasi sebenarnya ditentukan oleh tujuannya. Apakah evaluasi tersebut ditujukan untuk menilai keseluruhan sistem kurikulum atau hanya komponen tertentu dalam sistem kurikulum tersebut. Apakah mengevaluasi keseluruhan sistem atau komponen tertentu saja, diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu, agar hasil evaluasi tersebut tetap bermakna. Doll (1976), mengemukakan syarat-syarat suatu program evaluasi kurikulum, yaitu acknowledge presence of values and valuing, orientation to goals, comprehensiveness, continuity, diagnostic worth and validity and integration. Suatu evaluasi kurikulum harus memiliki nilai dan penilaian, penya tujuan atau sasaran yang jelas, bersifat menyeluruh dan terus menerus , berfungsi diagnostic dan terintegrasi.
Evaluasi kurikulum juga dapat bervariasi tergantung dari dimensi-dimensi yang menjadi focus evaluasi. Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi dimensi kuantitatif berbeda dengan instrument untuk mengevaluasi aspek-aspek perkembangan dan prestasi yang dicapai anak. Dimensi yang bersifat kuantitatif dapat diukur dengan menggunakan berbagai bentuk alat ukur atau tes standar. Tes tersebut ada yang diperuntukkan mengukur kemampuan yang bersifat potensial (kecerdasan, bakat) dan ada pula yang mengukur kemampuan yang diperuntukkan nyata atau archievement. Tes standar yang mengukur kecerdasan dan bakat umpamanya: intelilligence test, scholastic aptitude test, special aptitude test, prognostic aptitude test, dan lain-lain dan tes standart yang mengukur archievement seperti subject areas test, survey test, diagnostic test, dan lain-lain. Instrumen yang sering digunakan untuk mengevaluasi dimensi kualitatif umpamanya: questionnaire, interest inventories, temperament and adjustment inventories, nominating techniques, interviews, and anecdotal record (Writht, 1966: 306)
a. Konsep Kurikulum
Kurikulum merupakan daerah studi intelek yang cukup luas. Banyak teori tentang kurikulum. Beberapa teori menekankan pada rencana, yang lain pada inovasi, pada dasar-dasar filosofis, dan pada konsep-konsep yang diambil dari perilaku manusia. Ini menunjukkan betapa luasnya teori-teori tentang kurikulum. Secara sederhana teori kurikulum dapat diklasifikasikan atas teori-teori yang lebih menekankan pada isi kurikulum, pada situasi pendidikan serta pada organisasi kurikulum. ‘
Penekanan kepada isis kurikulum. Strategi pengembangan yang menekankan isi, merupakan yang paling lama dan banyak dipakai, tetapi juga menfapat penyempurnaan atau pembaharuan. Sebab-sebab yang mendorong pembaharuan tersebut bermacam-macam. Pertama,karena didorong oleh tuntutan untukmrnguatkan kembali nilai-nilai moral dan budaya masyarakat. Kedua, karena adnay perubahan dasar filosofis tentang struktur pengetahuan. Ketiga, karena adanya tuntutan bahwa kurikulum harus lebih berorientasi pada pekerjaan.
Faktor-faktor tersebut tidak timbul dari atau tidak ada hubungannya dengan sistem institusi persekolahan, tetapi sangat mempengaruhi perkembangan kurikulum. Pengaruhnya terhadap perkembangan kurikulum umpamanya, penguatan kembali nilai-nilai morak budaya akan meminta perhatian yang lebih besar pada kumpulan ilmu pengethuan masa lalu, orientasi kepada pekerjaan akan lebih banyak melihat kemasa depan, sedangkan titik tolak pada pendangan filosofis akan lebih menekankan pada disiplin keilmuan.
Apabila titik tolaknya penekanan pada isi kurikulum akan membawa beberapa akibat. Pengetahuan sebagia isi kurikulum mempunyai nilai instristik, sesuatu yang akan diwariskan, sesuatu yang beru atau diperbarui. Perkembangan kurikulum yang menekankan isi bersifat material centered. Kurikulum ini memandang bahwa murid adalah penerima resep yang pasif. Secra teoretis kurikulum yang menekankan isi dapat diukur, mempunyai tujuan yang apabila ditransfer pada anak dapt dikuasai oleh anak. Ini berbedaya. Bersama dengan teman-temannya yang lain dicetak melalui blue print masyarakat. Slah satu atribut organisasi kurikulum yang didasarkan pada pengetahuan (knowledge based curriculum), memungkinkan pengembangan dalam jumlah besar. Melalui proses diseminasi mereka dapat menggunakan teknik produksi massa untuk mendapatkan pendidikan massal.
Penekana pada situasi pendidikan. TIpe kurikulum ini lebih menekankan [pada maslah dimana (where), nersifat khusus, sangat memperhatikan dan berdasarkan situasi lingkungannya. TIpe ini menghasilkan kurikulum berdasarkan situasi lingkungan, seperti kurikulum pedesaan, kurikulum kelompok masyarakat nelayan, kurikulum daerah pesisir, pegunungan dan sebaginya. Tujuannya adalah menghasilkan kurikulum yang benar-benar merefleksikan dunia kehidupan dari lingkungan anak. Kurikulum yang menekankan situasi pendidikan akan sangat beraneka dibandingkan dengan kurikulum yang menekankan isi. Kurikulum ini bertujuan mencari kesesuaikan antara kurikulum dengan situasi dimana pendidikan berlangsung.
Sifat lain tipe ini adalah kurang atau tidak menakankan pada spesifikasi isi dan organisasi, lebih menunjukkan fleksibilitas dalam interpretasi dan pelaksanaannya. Pengetahuan dianggap bersifat relative terhadap situasi-situasi yang khusus sesuai dengan kondisi setempat . Kurikulum ini ruang lingkupnya sempit , masa pengembangannya justru relative lebih singkat daripada desiminasinya. Kalau kurikulum yang menekankan pada isi merupakan engineering approach maka kurikulum disusun sesuai dengan keadaan tanah, alam setempat, perhatian dangat ditumpahkan pada mempersiapka kebun atau sawah
Secara teoritis , mengevakuasi kurikulum menekankan pada situasi sangat sulit. Perencanaan dan pelaksanaan pengajaran sangat beraneka, peranan guru dalam mengembangkan dan menerapkan kreasinya sangat besar, sehingga cukup sulit merancang alat penilaian yang mencakup skala yang agak luas. Kesulitan lain adalah juga dalam menentukan standar criteria.
Penekanan pada organisasi. Tipe kurikulum ini sangat menekankan pada proses-belajar mengajar. Meskipun dengan berbagai perbedaan dan disana sini ada pertentangan, umpamanya antara konsep dengan pengajaran (perkembangan) dari Bruner dan Jean Piaget, keduanya dan keduanya sangat mempengaruhi perkembangan kurikulum tipe ini.
Perbedaan yang sangat jelas antara kurikullum yang menekankan organisasi dengan menekankan isi dan situasi, adalah memberikan perhatian yang sangat besar kepada pelajar atau siswa. Dalam pembelajaran model sistem instruksional aktivitas murid dangat ditekankan, tetapi aktivitas ini merupakan yang sudah dirancang secara ketat. Siswa mempunyai kesempatan, dan didorong untuk berinovasi, menyatakan kreativitasnya . Dalam belajar aktif tersebut penguasaan bahasa serta proses mental dari si pelajar sangat memegang peranan utama. Anak menurut Bruner merupakan hasil yang sangat kompleks dari sejarah, biologi dan sosial, harus berpartisipasi secar aktif dalam lingkungan belajar, menguasai bahasa dan menguasai kemampuan-kemampuan kognitif.
Apabila dalam bentuk sistem instruksional ataupun dalam sistem pengajaran (perkembangan) dari Bruner, kurikulumyang menekankan pada organisasi, memusatkan perhatiannya oada sekuens-sekuens belajar serta organisasi bahan pelajaran yang disususn melalui elaborasi isi dan prosedur pengukuran. Tipe kurikulum ini secara relative bersifat lepas darisituasi lingkungan atau situation free, berbeda dengan yang menekankan situasi. Akaurikulum yang menekankan masalah belajar-mengajar menekankan organisasi sebenarnya lebih dekat dengan pendekata kurikulum yang bersifat umum (generalized curriculum), berlaku dalam lingkungan yang cukup luas. Isi kurikulum bukan terletak pada bahan-bahan yang dipelajari anak tetapi pada techer’s guide.
Kurikulum yang menekankan pada organisasi menolak pendapat bahwa penguasaan pengetahuan merupakan alat untuk mencapai tujuan. Kurikulum yang menekankan organisasi juga sesungguhnya sukar untuk diukur. Secara teoretis penyusunan tes yang spesifik dapat dibuat, tetapi, seperti yang telah diutarakan sebelumnya, isi kurikulum tidak spesifik, tujuannya dapat dicapai dengan cara yang berbeda-beda, Tes yang disusun akan banyak mengangkut proses belajar yang bersifat umum. Lebih jauh, kalau penyusunan tes hasil belajar didasarkan pada tujuan, maka kurikulum yang menekankan pada organisasi, tesnya akan lebih banyak mengukur tujuan-tujuan tingkat tinggi pada klasifikasi Bloom (analisis, sintesis dan evaluasi).

b. Implementasi dan evaluasi kurikulum
Perbedaan penekanan dalam kurikulum mengakibatkan perbedaan dalam pola rancangan, dalam perkembangan serta desiminasinya.
Konsep kurikulum yang menekankan isi, memberikan perhatian besar pada analisis pengetahuan beru yang ada, konsep situasi menuntut penilaian secara rinci tentang lingkungan belajar, dan konsep organisasi member perhatian besar pada struktur dan sekuens belajar. Perbedaan-perbedaan dalam rancangan tersebut mempengaruhi langkah selanjutnya.
Pengembangan kurikulum yang menekankan isi, membutuhkan waktu mempersiapkan situasi belajar dan menyatukannya dengan menyatukan dengan tujuan pengajaran yang cukup lama. Kurikulum yang menekankan situasi, waktu oengajaran yang cukup lama. Kurikulum yang menekankan situasi, waktu untuk mempersiapkannya lebih pendek, sedangkan kurikulum yang menekankan organisasi persiapannya hamper sama dengan cukup banyak dipusatkan struktur konsep yang tidak tampak (covert) daripada analisis tujuan yang tampak.
Kurikulum yang menekankan isi sangat mengutamakan peranan desiminasi , meskipun umpamanya kurikulum itu kurang baik, mereka dapat memaksanya melalui jalur birokrasi. Tipe kurikulum ini mengikuti model penyebaran (difusi) dari pusat kedaerah. Sebaliknya penyebrab kurikulum yang menekankan situasi dangat mementingkanpenyiapan unsure yang terkait (catalyc ingredient). Pengembangan kurikulum bersifat local, individual dank has. Dengan demikian, penyebaran kurikulum ini memiliki network yang terpisah. Tertapi masing-masing dapat menyesuaikan diri serta mencari keserasian antara arah yang bersifat pusat dengan tuntutan kebutuhan dan sifat-sifat local. Kurikulum menekankan organisasi, strategi pneyebarannya ini lebih menekankan pembaharuan dair dalam dan bukan karena paksaan atau keharusan dari luar.
CARE (Centre forApplied Research in Education) di auaniversitas East Anglia Norwegia, aktif dalam mengadakan pelatihan guru. Salah satu proyeknya yang pertama adalah Nuffied/Schools Coucil Humanities usia anak yang meninggalkan sekolah, disediakan bagi anak yang usia 14 sampai 16 tahun dan kecerdasannya dibawah rata-rata. Banyak kesulitan yang dialami proyek ini , yang paling kritis adalah mengenai komunikasi antara timproyek dengan guru-guru , para administrator, dan para siswa. Proyek ini juga memiliki suatu tim evaluasi Salah satu kesimpulan dari hasil evaluasi mereka adalah jasil yang dicapai oleh gurur-guru yang terlatih (yang mengerti maksud serta latar belakang proyek) tidak dapat dicapai oleh guru yang tidak terlatih. Ini menunjukkan bahwa latihan guru memegang peranan penting dalam penyebaran program.
Model evaluasi kaitannya dengan teori kurikulum. Perbedaan konsep dan strategi pengembangan dan penyebaran kurikulum, juga menimbulkna perbedaan dalam rancangan evaluasi. Model evaluasi yang bersifat komparatif atau menekankan pada objektif sangat sesuai bagi kurikulum yang bersifat rasional dan menekankan isi. Dalam kurikulum yang menekankan situasi sukar disusun evaluasi yang bersifat komparatif., karena konteksnya bukan terhadap guru atau satu tujuan, tetapi terdapat banyak tujuan. Dengan menggunakan konsep Ralph Tylor atau Benyamin Bloom mungkin dapat dibuat suatu modifikasi dengan menyususn tujuan yang bersifat universalyang dapat digunakan pada senmua situasi, tetapi tujuan yang bersifat umum seperti itu akan kabur, dan sukar menyusun alat evaluasinya. Pendekatan yang bersifat goal free (lebih menekankan penguasaan actual dan bukan ideal) lebih memungkinkan, tetapi harus dihindari perjenjangan tujuan sampai pada perumusan tujuna yang sangat khusus, dengan criteria yang khusus pula.
Pada kurikulum yang menekankan organisasi, tugas evaluasi lebih sulit ;agi, karena isi dan hasil kurikulum bukan hal yang utama, yang utamanya adalah aktivitas dan kemampuan siswa. Slah satu pemecahan bagi masalah ini adalah dengan pendekatan yang bersifat eklektik seperti dalam proyek Kurikulum Humaniti dari CARE. Dalam proyek itu dicari perbandingan materi antara proyek yang menggunakan gurur yang terlatih dengan proyek yang tidak terlatih, dalam evaluasinya juga diteliti pengaruh umum dari proyek. Dengan cara mengumpulkan bahab-bahan secara studi kasus dari sekolah-sekolah proyek. Meskipun pendekatan perbandingan banyak memberikan hasil yang berharga, tetapi meminta waktu terlalu banyak dari para evalustor. Dalam perkembangan delanjutnya ternyata, bahan dari hasil studi evaluasi memberikan hasil yang lebih berharga bagi evalusi kurikulum.
Teori kurikulum dan teori evaluasi. Amaodel evaluasi kurikulum berkaitan erat sengan konsep kurikulu, yang digunakan, sperti model pengembangan dan penyebaran dihasilkan oleh kurikulum yang menekankan isi. Evaluasi kurikulum bebas tujuan (goals free evaluation) dalam kebanyakan kurikulum bukan merupakan salah satu alternetif evaluasi tetapi merupakan satu-ssatunya prosedur evaluasi yang peling memungkinkan.
Macam-macam model evaluasi yang digunkan bertumpu pada aspek-aspek tertentu yang diutamakan dalam proses pelaksanaan kurikulum. Model evaluasi yang bersifat komparatif berkaitan dengan tingkah laku individu, evaluasi yang menekankan pada bahan ajaran atau isis kurikulum, model (pendekatan) antropologis dalam evaluasi ditujukan untuk mengevaluasi tingkah laku dalam suatu lembaga sosial. Dengan demikian sesungguhnya terdapat hubungsn yang sangat erat antara evaluasi dengan kurikulum sebab teori kurikulum juga merupakan teori dari evaluasi kurikulum.

c. Peranan evaluasi kurikulum
Evaluasi kurikulum dapat dilihat sebagai proses sosial dan sebagia institusi sosial. Proyek-proyek evaluasi yang dikembangkan di Inggris umpamanya, juga di negara lain merupakan institusu sosial dari gerakan penyempurnaan kurikulum. Evaluasi kurikulum sebagai institusi sosial memiliki usul-usul, sejarah, struktur serta interest sendiri. Beberapa karakteristik dari proyek kurikulum yang telah dikembangkan di Inggris, umpamanya lebih berkenaan dengan inovasi daripada dengan kurikulum yang ada, lebih berskala nasional daripada local, dibiayai oleh grant dari luar yang berjangka pendek daripada anggapan tetap, lebih dipengaruhi oleh kebiasaan penelitian yang bersifat psikometris daripada oleh kebiasaan lama yang berupa penelitian sosial.
Peranan evaluasi kebijaksaan dalam kurikulum khususnya pendidikan umumnya minimal berkenaan dengan tiga hal, yaitu : evaluasi sebagai moral judgement, evaluasi dan penentuan keputusan, evaluasi, dan consensus nilai.
Evaluasi sebagia moral judgement. Konsep utama dalam evaluasi adalah masalah nilai. Hasil dari evalusi berisis suatu nilai yang akan digunkana untuk tindakan selanjutnya. Hal ini mengandung dua pengertian, pertama evaluasi berisi suatu skala nilai ,oral, berdasarkan skala tersebut suatu objek evaluasi dapat dinilai. Kedua, evaluasi berisi suatu perangkat criteria praktis berdasarkan criteria-keriteria tersebut suatu hasil dapat dinilai.
Evaluasi bukan merupakan suatu proses tunggal, minimal meliputi dua kegiatan, pertama mengumpulkan informasi dan kedua menentukan suatu keputusan. Kegiatan yang pertama mungkin juga mengandung segi-segi nilai (terutama dalam memilih dumber informasi dan jenis informasi yang akan dikumpulkan), tetapi belum menunjukkan suatu evaluasi. Dalam kegiatan yang kedua, yaiu menentukan keputusan menunjukkan suatu evaluasi, dasar pertimbangan yang digunkakan adlah suatu perangkat nilai-nilai.
Karena masalah-masalah dan konsep-konsep dalam pendidikan selalu mengalami perkembangan, maka pertaliam antara informasi pendidikan yang diperoleh dengan keputusan yang diambil tidak selalu sama, mengalami perkembangan pula. Perkembangan ini terutama berkenaan dengan perkembangan atau perubahan nilai-nilai. Oleh karena itu, salah satu tugas dari para evaluator pendidikan mempelajari kerangka nilai-nilai tersebut. Atas dasar kernagka nilai-nilai tersebut maka keputusan pendidikan diambil.
Dalam evaluasi kurikulum salah satu hal yang sering menjadi inti perdebatan antara para ahli adalah pemisahan abtara pengumpulan dan penyusunan informasi berdasarkan keputusan. Perbedaan pendapat mengenai hal ini akan direfleksikan dalam perbedaan –perbedaan perumusan tentang evaluasi. Daniel Stufflebeam (1971) merumuskan evaluation is the process of delinating, obtaining and providing useful information for delinating, obtaining and providing useful information for judging decision alternative. Stake (1976), dari universitas Illinois merumuskan evaluation is an observed value compared to some standard. Michael Scriven (1969) dari universitas Indiana, memberikan perumusan tentang evaluator, it’s (tehe evaluator’s) task is to try very hard to condense all tahat mass of data into one word: good, or bad.
Kutipan-kutipan tersebut bukan saja melukiskan perbedaan tekanan pada pengumpulan informasi atau penentuan keputusan, tetapi juga memperlihatkan adanya perbedaan karateristik, mereka yang lebih menekankan pengumpulan informasi memandang terlepas atau tidak melibatkan nilai-nilai. Hal itu tidak benar, sebab baik pada pemilihan masalah yang akan diteliti , pengumpulan data, pemilihan teknik penentuan sampel serta penyajian hasil penelitian melibatkan atau menyangkut masalah nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut baik dilihat dari evaluasi, para sponsor, atau dari subjek yang dinilai. Apabila terdapat perbedaan nilai antara mereka, dapat timbul ketegangan atau konflik.
Pemisahan antara pengumpulan informasi dengan penentuan keputusan merupakan salah satu kerakteristik institusional hal ini dipengaruhi oleh kebiasaan pemisahan pekerjaan administrator dan peneliti. Dalam hal pendidikan perbedaan formal tersebut tidak ada, pengumpul data adalah pengambil keputusan pula.
Evaluasi dan penentuan keputusan. Siapa pengambil keputusan dalam pendidikan atau khususnya dalam pelaksanaan pendidikan atau kurikulum banyak, yaitu: guru, murid, orang tua, kepala sekolah, para inspektur, pengembang kurikulum, dan sebaginya. Siapa diantara mereka yang memegang peranan paling besar dalam penetuan keputusan. Pada prinsipnya tiap indibidu diatas membuat keputusan sesuai dengan posisinya sebagai murid. Guru mengambil berbagai keputusan sesuai dengan posisinya sebagai guru. Besar atau kecilnya peranan keputusan yang diambil oleh seseorang sesuai dengan lingkup tanggung jawabnya serta lingkup masalah yang dihadapinya pada suatu saat. Beberapa hasil evaluasi menjadi bahan pertimbangan bagi murid untuk mengambil keputusan apakah ia harus memilih jurusan IPA atau IPS, dan sebagainya. Dengan perkataan lain penentuan keputusan diambil oleh murid, sebagian besar berkenaan dengan kepentingan dirinya.
Lain halnya dengan keputusan yang diambil oleh seorang guru, ia mengambil keputusan bagi kepentingan seseorang atau beberapa murid , atau dapat pula mengambil keputusan bagi seluruh murid. Demikian juga lingkup keputusan yang diambil oleh kepala sekolah, inspektur, pengembang kurikulum, dan sebagainya berbeda-beda. Jadi, tiap pengambil keputusan dalam proses evaluasi memegang posisi nilai yang berbeda, sesuai dengan posisinya. Salah satu kesulitan yang dihadapi dalam pengunaan hasil evaluasi bagi pengambilan keputusan adalah, hasil evaluasi yang diterima berbagai pihak oengambil keputusan adalah sama. Masalah yang timbul adalah, apakah hasik evaluasi tersebut dapat bermanfaat bagi pihak tertentu, tetapi kurang bermanfaat bagi pihak lain.
Evaluasi adalah consensus nilai. Dalam bagian yang terdahulu sudah dikemukakan bahwa penelitian pendidikan dan evaluasi kurikulum sebagi perilaku sosial berisi nilai-nilai. Dalam berbagai situasi pendidikan serta kegiatan pelaksanaan evaluasi kurikulu, sejumlaj nilai-nilai dibawakan oleh orang-orang yang turut terlibat (berpartisispasi) dalamkegiatan penilaian atau evaluasi. Para partisipan dalam evaluasi pendidikan dapat terdiri atas: orang tua, murid, guru, pengembang kurikulum, administrator, ahli politik, ahli ekonomi, penerbit, arsitek, dan sebagainya.
Pernah dimimpikan bahwa partisipan tersebut meruoakan suatu kelompok yang homogeny sebagai pengambil keputusan atas hasil penelitian, tetapi beberapa pengalaman menunjukkan bahwa hal utu tidak mungkin. Mereka mempunyai sudut pandangan, kepentingan nilai-nilai serta pengalaman tersendiri. Bagaimana caranya agar diantara mereka terdapat kesatuan penilaian. Penilaian hanya dapat dicapai melalui suatu consensus.
Secara historis consensus nilai dalam evaluasi kurikulum berasal dari tradisi tes mental serta eksperimen. Konsensus tersebut erupakan kerangka kerja penelitian, yang dipusatkan pada tujuan khusus, pengukuran prestasi belajar yang bersifat behavioral, penggunaan analisis statistic dari pre test dan post test dan lain-lain. Model penelitian diatas merupakan suatu social engineering atau sistem approach dalam pendidikan. Dalam model penelitian tersebut keseluruhan kegiatan dapat digambarkan dalam suatu flow chart yang merumuskan secara operasional input (pre test) cara-cara kegiatan (treatment) serta output (post test).
Model diatas mendapatkan beberap kritik, tetapi kritik atau kesulitan tersebut paling utama adalah merumuskan tujuan-tujuan khusus, yang dapat diterima oleh seluruh partisipan evaluasi kurikulu, serta perencanaan kurikulum. Juga diantara partisipan harus ada persetujuan tentang tujuan-tujua mana yang paling penting.
Selain harus terdapat consensus tentang tujuan-tujuan yang akan dicapai, dalam pengunaan model diatas juga harus ada consensus tentang siapa diantara partisipan tersebut yang turut terlibat secara langsung. Tanpa adanya persetujuan flow cahrt yang definitive. Model sistem approach atau model social engineering bersifat goal based evaluation, karena bertitik tolak dari tujuan-tujuan khusus. Krena model ini mempunyai bebrapa keberatan, maka berkembang model evaluasi yang lain yang bersifat goal free evaluation.
Pendekatan evaluasi yang bersifat goal free bertolak dari sikap kebudayaan yang majemuk (cultural pluralism). Sikap kebudayaan yang mejemuk mempunyai dasar relativis, memandang bahwa tiap pandangan sama baiknya. Dalam evaluasi kurikulum sudah tentu pandangan ini mempunyai kesulitan yang cukup besar, sabab alat0alat evaluasi yang digunakan bertolak dari dasar posisi nilai yang berbeda. Dengan demikian evaluasi juga bersifat relative. Evaluasi model ini dapat ditemukan pada peneliti yang memandang pekerjaannya semata0mata hanya sebagia pengumpulan data.

d. Ujian sebagai evaluasi sosial
Sejak diperkenalkannya sistem ujian atau tes untuk umum di Amerika aerikat dan Negara-negara lain., pengukuran yang berbentuk umum (publik) tersebut merupakan salah satu model evaluasi dalam pendidikan. Menguji adalah mengevaluasi kemampuan individu. Dengan adanya ujian-ujian tersebut, maka jenis-jenis kemampuan tertentu dipandang menunjukkan status lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan skolastik umpamanya sering dipandang memiliki status lebih tinggi daripada penguasaan kemampuan yang lainnya.
Keberhasilan dalam ujian pengetahuan dan kemampuan skolastik selama bertahun-tahun ditentukan oleh kemampuan yang mengingat fakta-fakta. Kecenderungan ini bukan saja didasari oleh teori psikologi lama, yang memandang bahwa otak yang lebih baik mampu menguasai fakta lebih banyak, tetapi juga oleh keadaanmasyarakat dimana buku-buku sumber (teks) pengetahuan secara relative tifak berubah selama dua abad. Westmister shoter catechism umpamanya digunakan sebagai buku teks disekolah-sekolah di scotlandia abad 17 sampai 19. Karena adanya berbagai kemajuan dalam masyarakat, maka dalam perkembnagan selanjutnya jenis kemampuan mempunyai nilai yang lebih tinggi.
Ujian bukan saja menunjukkan nilai pengetahuan atau kemampuan secara sosial, tetapi juga telah merupakan peraturan dari sekolah. Dalam dua decade pertama dari abad 20 sejumlah ahli psikologi dikumpulkan dalam satu komisi untuk menyusun tes kecerdasan. Hasilnya digunakan untuk menyeleksi setiap anak-anak yang akan masuk sekolah menengah yang tidak mempu membayar uang sekolah. Kemudian tes tersebut juga digunakan sebagai alat bagi penentuan kenaikan kelas serta sebagai saringan masuk. Pelaksanaan ujian-ujian tersebut sejalan dengan anggapan masyarakat pada waktu itu, bahwa hanya sebagian dari penduduk yang mempunyai kemampuan untuk menguasai pengetahuan pada suatu jenis sekolah atau paa jenjang sekolah tertentu. Sistem ujian yang mempunyai nilai historis ini digunakan untuk mengontrol efisiensi dan efektifitas pelaksanaan sekolah. Apakah sistem ini dipandang baik atau jelek baergantung pada pandangan yang menggunakannya.
Sistem ujian yang dilaksanakan diatas, lebih banyak digunkakan untuk mengukur atau menguji kemampuan individu (siswa). Untuk menilai gambaran sekolah secara keseluruhan, yaitu menilai tentang keadaan murid, guru, kurikulum, pembiayaan sekolah, fasilitas sekolah, keseragaman sekolah, penyusunan rancangan dan pemeliharaan sekolah diperlukan sistem pengumpulan data serta penilaian yang lain. Kalau untuk mengukur kemampuan siswa digunakan siswa digunakan istilah examination atau assessment maka untuk penilaian keseluruhan situasi sekolah atau kurikulum lebih tepat digunakan istilah evaluation.
Para evaluation menyadari bahwa anneka macam kerangka kerja evaluasi mempunyai implikasu terhadap penentuan keputusan pendidikan. Barry mc Donald (1975), mendasarkan argumentasnya pada anggapan dasar bahwa evaluasi merupsksn krgistsn politik. Is membedakan adanya tiga tipe evaluasi dalam pendidikan dan kurikulum, yaitu evaluasi birokaratik, otokratik dan demokratik.
Evaluasi birokratikm merupakan suatu layanan yang bersifat unconditional terhadap lembaga-lembaga pemerintahan yang memiliki wewenag control terbesar dalam alokasi sumber-sumber pendidikan. Evaluator menerima kebijaksanaan dari pemegang jabatan, dengan menggunakan berbagai informasi yang diperoleh akan membantu mereka mencapai tujuan dari kebijaksanaan yang telah digariskan. Evaluator tidak mempunyai kekuasaan sendiri, atau control sendiri terhadap penggunaan informasi yang diperoleh. Prinsip utama evaluasi birokratik adalah pelayanan(service), penggunaan(utility), dan efisiensi(efficiency).
Evaluasi birokratik, merupakan layanan evaluasi terhadap lembaga pemerintah yang weweng control cukup besar dalam mengalokasikam sumber-sumber pendidikan. Tugas para evaluator adalah membantu pelaksanaan kebijaksanaan, ketentuan –ketentuan hukum dan moral dari birokrasi. Peranan evaluator tidak dicampuri pleh pihak yang dilayaninya, dan ia mempunyai wewenang penuh dalam bidangnya. Bila rekomendasi evaluator ditolak maka kebijaksanaannya tidak bisa dilaksanakan. Sumber kekuatan evaluator adalah penelitian kemasyarakatan. Konsep utama evaluator otokratik adalah evaluasi yang bersifat prinsipil dan objektif (principles and objectivity).
Evaluasi demokratik, merupakan layanan pemberian informasi terhadap masyarakat, tentang program-program pendidikan. Evaluasi ini menganut nilai pluralism serta menguhasakan memenuhi berbagai minat masyarakat dalam memberikan informasi. Tugasnya adalah memberikan informasi terhadap kelompok-kelompok masyarakat, dan evaluator bertindak sebagai pelantara dalam pertukaran informasi yang bukan ahli. Criteria keberhasilannya adalah pihak yang dilayani seluas-luasnya/konsep utama evaluator demokratis adalah kerahasiaan, musyawarah, dan ketercapaian sasaran.
Sebagai contoh Mc Donald memandang bahwa pelaksanaan evaluasi di Amerika Serikat dewasa ini bersifat birokratik, karena kenyataannya evaluasi sebagian besar dibiayai oleh pemerintah pusat atau negara bagian, kedudukan evaluator berbeda-beda dibawah lembaga federal. Lembaga-lembaga pendidikan setempat berada dibawah lembaga-lembaga yang memberikan biaya.

e. Model-Model Evaluasi Kurikulum
Evaluasi kurikulum merupakan suatu tema yang luas, meliputi banyak kegiatan, meliputi sejumlah prosedur, bahkan dapat merupakan suatu lapangan studi yang berdiri sendiri. Evaluasi kurikulum juga merupakan suatu fenomena yang multifaset, memiliki banyak segi. Perkembangan evaluasi kurikulum, yaitu evaluasi kurikulum sebagai fenomena sejarah, suatu elemen dalam proses sosial dihubungkan dengan perkembangan pendidikan.
1. Evaluasi model penelitian
Model evaluasi kurikulum yang menggunakan model peneletian didasarkan atas teori dan metode tes psikologi serta eksperimen lapangan.
Tes psikologi atau tes psikometrik pada umumnya mempunyai mempunyai dua bentuk, yaitu tes intelegensi yang ditujukan untuk mengukur perilaku skolastik.
Eksperimen lapangan dalam pendidikan , dimulai pada tahun 1930 dengan menggunakan metode yang biasa digunakan dalm penelitian botani menggunakan metode yang biasa digunakan dalam penelitian botanipertanian. Para ahli botani pertanian mengadakan percobaan untuk ditanam pada petak-petak tanah yang memiliki kesuburan dan lain-lain yang sama. Dari percobaan tersebut dapat diketahui produk mana yang paling produktif. Percobaan serupa dapat juga digunakan untuk mengetahui pengaruh tanah, pupuk dan sebagainya terhadap produktifitas suatu masam benih.
Model eksperimen dalam botani pertanian dapat digunakan dalam pendidikan, anak disamakan dengan benih , sedangkan kurikulum serta berbagai fasilitas serta system sekolah dapat disamakan dengan tanah dan pemeliharaannya. Umtuk mengetahui tingkat kesuburan benihy(anak) serta hasil yang dicapai pada akhir percobaan dapat digunakan tes (pretest dan posttes).
Salah satu pendekatan dalam evaluasi yang menggunakan eksperimen lapangan adalah menggunakan mengadakan perbandingan antara dua macam kelompok anak, umpamanya yang menggunakan dua metode belajar yang berbeda. Kelompok pertama belajar membaca dengan metode global dan kelompok lain menggunakan metode unsure. Untuk mengetahui kelompok mana yang lebih baik atau keberhasilan metode tersebut dapat ditransfer ke metode lain dibutuhkan suatu penelitian lapangan yang membutuhkan persiapan yang sngat teliti dan rinci. Besarnya sampel, variable yang terkontrol, Hipotesis, treatment, tes hasil beljar dan sebagainya perlu dirumusakan secara tepat dan rinci.
Ada beberapa kesulitan yang dihadapi dalam eksperimen tersebut. Pertama, kesulitan administrative, sedikit sekali sekolah yang besedia dijadikan sekolah eksperimen. Kedua, masalah teknis dan logis, yaitu kesulitan menciptakan kondisi kelas yang sama unutk kelompok-kelompok yang diuji. Ketiga, sukar unutk mencampurkan guru-guru untuk mengajar pada kelompok eksperimen dengan kelompok control, pengaruh guru-guru tersebut sukar dikontrol. Keempat, ada keterbatasan mengenai manipulasi eksperimen yang dapat dilakukan. Dalam botani pertaniandengan rancangan yang sempurna dapat memanipulasi eksperimen damapu 25 treatment, tetapi dalam penelitian pendidikan tidak mungkin sapat dila,ukan treatment sebanyak itu.

2. Evaluasi model objektif
Evaluasi model ojektif ( model tujuan) berasal dari amerika serikat. Perbedaan model objektif dengan model komparatif adalah dalam dua hal. pertama dalam model objektif, evaluasi merupakan bagian yang sangat penting dalam proses pengembangan kurikulum. Para evaluator juga mempunyai peranan menghimpun pendapat-pendapat orang luar tentang inovasi kurikulum yang dilaksanakan. Evaluasi dilakukan pada akhir kurikulum, kegiatan penilaian ini juga sering evaluasi sumatif. Dalam hal tertentu sering evaluator bekerja sebagai bagian dari tim pengembang. Informasi-informasi yang diperoleh dari hasil penilaiannya digunakan untuk penyempurnaan informasi inovasi yang sedang berjalan. Evaluasi ini sering disebut evaluasi formatif. Kedua kurikulum tidak dibandingkan dengan kurikulum lain tetapi diukur dengan seperangkat objektif (tujuan khusus). Keberhasilan pelaksanan kurikulum diukur oleh penguasan siswa akan tujuan-tujuan tersebut. Para pengenbang kurikulum yang menggunakan system intruksional (model objektif) menggunakan standar pencapaian tujuan-tujuan tersebut. Tujuan dari comparative approach adalah menilai apkah kegiata yang dilakukan kelompok eksperimen lebih baik dari pada kelompok control. Oleh karena itu, kedua kelompok tersebut harus ekuivalen, tetapi dalam model objektif hal itu menjadi soal.
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh tim pengembang model objektif, antara lain:
1. Ada kesepakatan tentang tujuan-tujuan kurikulum;
2. Merumuskan tujuan-tujuan tersebut dalam perbuatan siswa;
3. Menyusun materi kurikulum yang sesuai dengan tujuan tersebut.
4. Mengukur kesesuain antara perilaku siswa dengan hasil yang diinginkan.
Pendekatan inilah yang digunakan oleh Ralph Tylor (1930) dalam menyusu tes dengan titik tolak pada perumusan tujuan tes, sebagai asal mula pendekatan system(system approach). Pada tahun 1950-an Benyamin S. Bloom dengan kawan-kawannya menyusu klasifikasi system tujuan yang meliputi daerah-daerah belajar (kognitif domain). Mereka membagi proses mental yang berhubungan dengan belajar tersebut dala 6 kategori, yaitu: knowledge, comprehension, application, analisys, synthesis, dan evaluation. Mereka membagi-bagi tujuan-tujuan tersebut pada sub-tujuan yang lebih khusus. Perumusan tujuan-tujuan dari Bloom dan kawan-kawannya belum sampai pada perumusan tujuan yang bersifat Behavioral, untuk itu diperlukan perumusan lebih lanjut yang khusus dan bersifat Behavioral.
Dasar–dasar teori Taylor dan Bloom menjadi prinsip sentral dalam rancangan kurikulum, dalam mencapai puncaknya dalam system belajar berprogram dan system instruksional. System pengajaran yang terkenal adalah IPI (Individually Prescribe Instruction), suatu program yang dikembangkan oleh Learnig Research and Development Centre Universitas Pitsburg. Dalam IPI anak mengikuti kurikulum yang memiliki tujuh unsure, yaitu:
1. Tujuan –tujuan pengajaran yang disusun dalam daerah-daerah, tingkat-tingkat, unit-unit;
2. Suatu prosedur program testing;
3. Pedoman prosdur program penulisan; materi dan alat-alat pengajaran;
4. Kegiatan guru dalam kelas;
5. Kegiatan murid dalam kelas;
6. Prosedur pengelolaan kelas.
Tes untuk mengukur prestasi belajar anak merupakan bagian integral dari kurikulum. Tiap butir tes berkenaan dengan ketrampilan , unit tau tingakta tertentu dari tujuan khusus. Untuk mengikutu profram pendidikan, siswa harus mengambil dulu tes penempatan, untuk menentukan dimana mereka harus mulai belajar. Kemajuan siswa dimonitor oleh guru dengan memberikan tes yang mengukur tingkat penguasaan tujuan-tujuan khusus mellalui pre-test atau post-test. Siswa dianggap menguasai suatu unit bila memperolah skor minimal 80. Bila ia sudah dikuasai berarti penguasaan siswa sudah sesuai dengan criteria.

3. Model campuran multivariasi
Evaluasi medel perbandingan (comparative approach) dan model Tylor dan Bloom melahirkan evaluasi model campuran multivariasi, yaitu strategi evluasi yang menyatukan unsur-unsur dari kedua pendekatan tersebut. Strategi ini memungkinkan pembandinganlebih dati satu kurikulum dan secara serempak keberhasilan tiap kurikulum diukur berdasarkan khusus dari masing-masimg kurikulum.
Seperti halnya pada eksperimen lapangan serta usaha-usaha awal dari Tylor dan Bloom, metode inipun terlepas dari proyek evaluasi. Metode-metode tersebut masuk kebidang kurikulum setelah omputer dan program paket berkembang, yaitu pada tahun 1960. Program paket berisi program statistic yang sederhanayang tidak membutuhkan pengetahuan computer memungkinkan studi lapangan tidak dihambat oleh kesalahan dan kelambatan. Semua masalah pengolahan statistic dapat dikerjakan dengan computer.
Langkah-langkah model campuran multivariasi tersebut adalah sebgai berikut:
1. Mencari sekolah yang berminat untuk divaliasi atau di teliti;
2. Pelaksanaan program. Bila tidak ada pencampuran sekolah tekanannya pada partisipasi yang optimal;
3. Sementara tim menyuun tujuan yang meliputi semua tujuan dari pengajaran yang umpamanya dengan metode globaldan metode unsur, dapat disiapkan tes tambahan;
4. Bila semua informasi yang diharapkan telah terkumpul, maka mulailah pekerjaan computer;
5. Tipe analisis dapat juga digunakan untuk mengukur pengaruh bersama dari bebrapa variable yang berbeda.
Beberapa kesulitan yang dilalui dalam evaluasi model campuran multivariasi, antara lain:
1. Diharapkan memberikan tes statistic yang signifikan,maka diperlukan 100 kelas dengan 10 pengukuran dan ini lebih memungkinkan dari pada 10 kelas dengan 100 pengukuran. Jadi model multivariasi ini lebih sesuai begi evaluasi kurikulum skala.
2. Terlalu bayaknya variable yang perlu dihitung pada suatu sat kemampuan computer hanya sampai 40 variabel, sedangkan dalam model ini dapat dikumpulkan sampai 300 variabel.
3. Meskipun model multivariasi telah mengurangi masalah control berkenaan dengan eksperimen lapangan tetapi menghadap masalah-masalah pembandingan.
Model-model evluasi kurikulum tersebut berkembang dari dan digunakan untuk mengevaluasi model atau pendekatan kurikulum tertentu. Model pembandingan lebih sesuai untuk mengevaluasi pengembangan kurikulum yang menekankan isi(content based curriculums), model tujuan lebih sesuai digunakan dalam pengembangan kurikulum yang menggunakan pendekatan tujuan (Goal Based Curiculum), model campuran dapat digunakan untuk mengevaluasi baik kurikulum yang menekankan isi, tujuan, maupun situasi (situation based curriculum).
Disamping model-model evaluasi kurikulum yang telah dijelaskan diatas, masih ada lagi beberapa model kurikulum yang lebih bersifat umum, seperti model EIPC, CEMREL, dan model CDPP.

BAB III KESIMPULAN


3.1 Organisasi kurikulum mencakup urutan, aturan dan integrasi kegiatan-kegiatan belajar sedemikian rupa guna pencapaian tujuan-tujuan.
3.2 ruang lingkup organisasi kurikulum meliputi: mata pelajaran, bidang besar (broad field), projek, kurikulum inti dan integrasi.
3.3 kriteria penentuan urutan organisasi kurikulum dibedakan dalam beberapa presentasi, yaitu presentasi menurut buku teks, preferensi guru, struktur disiplin ilmu, minat anak didik, hirarkhi belajar dan perkembangan.
3.4 Elemen pemersatu dari organisasi kurikulum adalah konsep, generalisasi, keterampilan, dan nilai.
3.5 Evaluasi kurikulum memegang peranan penting baik dalam penentuan kebijaksanaan pendidikan pada umumnya, maupun pada pengambilan keputusan dalam kurikulum.
3.6 Evaluasi kurikulum sukar dirumuskan secata tegas, hal itu karena evaluasi kurikulum berkenaan dengan fenomena-fenomena yang terus berubah, Objek evaluasi kurikulum adalah sesuatu yang berubah-rybah sesuai dengan konsep kurikulum yang digunakan dan Evaluasi kurikulum merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh manusia yang sifatnya juga berubah.
3.7 Program evaluasi kurikulum bukan hanya mengevaluasi hasil belajar siswa dan proses pembelajarannya, tetapi juga desain implementasi kurikulum, kemampuan untuk kinerja guru, kemampuan dan kemajuan siswa, sarana, fasilitas dan sumber belajar, dan lain-lain.
3.8 Banyak teori tentang kurikulum. Beberapa teori menekankan pada rencana, yang lain pada inovasi, pada dasar-dasar filosofis, dan pada konsep-konsep yang diambil dari perilaku manusia.
3.9 Pengembangan kurikulum yang menekankan isi, membutuhkan waktu mempersiapkan situasi belajar dan menyatukannya dengan menyatukan dengan tujuan pengajaran yang cukup lama.
3.10 Peranan evaluasi kebijaksaan dalam kurikulum khususnya pendidikan umumnya minimal berkenaan dengan tiga hal, yaitu : evaluasi sebagai moral judgement, evaluasi dan penentuan keputusan, evaluasi, dan consensus nilai.
3.11 Ujian bukan saja menunjukkan nilai pengetahuan atau kemampuan secara sosial, tetapi juga telah merupakan peraturan dari sekolah.
3.12 Perkembangan evaluasi kurikulum, yaitu evaluasi kurikulum sebagai fenomena sejarah, suatu elemen dalam proses sosial dihubungkan dengan perkembangan pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA


Anssyar, Mohammad, Ph.D. 1989. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Depdikbud Dirjen Pendidikan Tinggi.
Sadulloh, Uyoh.1994. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: P.T. Media Iptek.
Soedijarto, Prof. Dr. H. MA. Kurikulum, Sistem Evaluasi, dan Tenaga Pendidikan sebagai Unsur Strategis dalam Penyelenggaraan Sistem Pengajaran Nasional (Jurnal Pendidikan Penabur - No.03 / Th.III / Desember 2004).
Sukmadinat, Prof.Dr. Nana Syaodih. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sandra Santosa. Evaluasi Kurikulum dan Implementasinya Di Program Studi Teknik Kimia Politeknik Negeri Malang Dengan Model CIPP. (Tesis)

1 komentar:

barbie netter mengatakan...

senja,,tektunggu diblogQ kok g ada dateng?